Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR Junaidi Auly menginginkan perbankan BUMN dapat membenahi permasalahan "Non-Performing Loan/NPL" atau kredit bermasalah agar dapat ditekan serendah mungkin untuk meningkatkan kinerja.

"Bank BUMN agar terus memperhatikan NPL. Kita lihat saja NPL dari beberapa perbankan BUMN ada yang mencapai 3 persen, ini perlu perbaikan," kata Junaidi Auly dalam rilis di Jakarta, Jumat.

Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, Bank BUMN seharusnya lebih fokus dan responsif terhadap permasalahan NPL.

Lebih lanjut, Junaidi mempertanyakan kemampuan bank dalam menganalisis karakter, kemampuan mengembalikan utang, jaminan, modal, dan kondisi.

Dia menegaskan bahwa prinsip tersebut seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang lazim digunakan untuk mengevaluasi calon nasabah.

Di sisi lain, Junaidi memahami bahwa melemahnya kondisi ekonomi yang diikuti oleh penurunan harga komoditas menjadi sebab kenaikan NPL.

"Tapi di sini bank harus peka juga terhadap kemampuan calon nasabah. Kalau dirasa nasabah belum mampu, Bank diharapkan membantu atau setidaknya dapat membimbing mereka terlebih dahulu agar mampu," paparnya.

Dia juga menginginkan permsalahan NPL juga terus diawasi oleh Otoritas Jasa KEuangan (OJK) agar jangan sampai tren kredit bermasalah dapat naik dari tahun ke tahun.

Sebelumnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kembali mempertahankan tingkat bunga penjaminan untuk simpanan rupiah sebesar 6,25 persen dan valuta asing sebesar 0,75 persen di bank umum dalam rapat anggota komisioner periode Maret 2017. Tingkat bunga penjaminan tersebut berlaku dalam periode hingga 15 Mei 2017.

"LPS juga mempertahankan tingkat bunga simpanan rupiah di bank perkreditan rakyat sebesar 8,75 persen untuk periode yang sama," kata Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho di Jakarta, Jumat (31/3).

Samsu mengatakan bunga penjaminan (LPS Rate) dipertahankan karena besaran terakhir masih sesuai dengan pergerakan suku bunga simpanan bank, yang stabil dan cenderung menurun. Pergerakkan suku bunga simpanan bank menurun disebabkan aliran likuiditas perbankan yang cukup deras.

Sebelumnya, Kepala Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sukarela Batunanggar, menjelaskan risiko likuiditas menjadi tantangan utama perbankan di 2017.

Dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (23/3), Sukarela menjelaskan tekanan likuiditas muncul sebagai dampak potensi kenaikan suku bunga Federal antarbank (Fed Funds Rate) dan arus modal keluar.

Selain itu, dia menjelaskan perbankan juga menghadapi kebutuhan dana untuk ekspansi kredit yang lebih besar. "Perlu disikapi dengan struktur pendanaan yang baik, bisa dengan menerbitkan obligasi," kata Sukarela.

(T.M040/T007)

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017