Manila (ANTARA News) - Kelompok teater pemuda Filipina mementaskan drama musik di taman Manila pada Minggu untuk menentang perang berdarah Presiden Rodrigo Duterte melawan narkotika dan obat terlarang.

Drama musik 20 menit itu menampilkan penjual peti mati, yang meraup untung besar karena mayat menumpuk.

Tapi, penjual peti mati dan teman-temannya itu berakhir sebagai statistik, mengingat perluasan pembunuhan gaya main hakim sendiri, yang mencengkeram bangsa Asia Tenggara dan mengkhawatirkan masyarakat internasional itu.

"Drama musik itu berbicara tentang masalah di masyarakat terkait perang melawan narkotika dan ironi dari perang itu, bahwa beberapa pihak mendapatkan uang di tengah perang tersebut dan semua pembunuhan," kata direktur artistik Jessie Villabrille kepada Reuters.

Lebih dari 8.000 orang yang diduga pecandu dan pengedar narkoba telah tewas sejak Duterte menjabat pada 30 Juni, beberapa orang tewas dalam operasi polisi tetapi banyak orang yang lain tewas secara misterius.

Pihak berwenang menyangkal keras telah melakukan kesalahan dan menyalahkan oknum warga ga dan geng narkoba untuk pembunuhan itu.

Kritik untuk perang terhadap narkoba tidak diterima Duterte atau pendukungnya. Pemimpin itu bahkan mengecam Perserikatan Bangsa Bangsa dan mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama berkali-kali atau mengkritik program anti-obat terlarangnya.

Duterte memenangkan kursi kepresidenan dengan margin lebar berkat janji memusnahkan obat terlarang dan kriminalitas.

Kelompok teater itu berencana untuk membawa drama musikal itu ke sekolah-sekolah dan menampilkan sebuah versi yang lebih panjang.

Pada Maret, seorang pensiunan polisi Filipina, dalam dengar pendapat dengan Senat mengaku membunuh hampir 200 orang saat menjadi anggota "pasukan jagal" di bawah Presiden Rodrigo Duterte saat masih menjabat wali kota Davao.

Arturo Lascanas mengaku berbohong pada sidang sama --untuk menyelidiki pembunuhan di luar hukum di bawah Duterte-- pada Oktober.

Dia terpaksa berbohong karena khawatir akan keselamatan keluarganya dan mendapat perintah dari kepolisian untuk "membantah semua hal".

Lascanas mengatakan membunuh 300 orang, sekitar 200 di antaranya saat menjadi anggota "pasukan jagal Davao". Dia terakhir kali menewaskan orang pada 2015.

Selain itu, Lascanas juga mengungkap dua pembunuhan yang dia lakukan terhadap pengkritik Duterte setelah mendapat instruksi dari seorang pengawal Duterte--yang saat itu masih menjadi wali kota.

Lascanas, yang sempat menangis di depan media saat pertama kalinya mengungkap cerita rahasianya dua pekan lalu, adalah orang kedua yang bersaksi di hadapan Senat terkait dugaan keterlibatan Duterte terhadap pasukan jagal anti-narkoba.

Pembela Duterte menolak tudingan tersebut dan menyebutnya sebagai rekayasa untuk merongrong sang pemimpin dan kebijakan anti-narkobanya.

Duterte sendiri telah berulangkali membantah telah terlibat dalam pembunuhan ekstra judisial, baik sebagai presiden maupun selama 22 tahun menjabat sebagai wali kota Davao. Kepala kepolisian nasional Ronald dela Rosa, mantan kepala polisi kota Davao di bawah Duterte, menyebut keberadaan pasukan jagal tersebut sebagai mitos yang diciptakan oleh media.

Sementara itu, sejumlah kelompok pembela hak asasi manusia mencatat sekitar 1.400 pembunuhan mencurigakan di Davao saat Duterte masih menjadi wali kota. Mereka juga mengkritik kebijakan perang narkotika itu, yang menimbulkan dampak sama.

(G003/B002) 

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017