Jakarta (ANTARA News) - Sederet karakter telah dihidupkan oleh Agus Nurhasan selama 24 tahun menjadi dubber, beberapa di antaranya adalah Pria Bertopi Kuning dalam “Curious George” dan Suneo Honekawa di kartun Doraemon pada periode 2006 -2008.

Rupanya kekuatan sandiwara radio yang sukses memainkan imajinasi pendengar memicunya terjun ke dunia sulih suara. 

Pria kelahiran Kediri 27 Agustus 1973 ini menggandrungi sandiwara radio seperti Saur Sepuh dan Misteri Gunung Merapi sampai ia sering membawa radio transistor ke mana saja.

“Dulu saya tanpa sadar suka ngomong sendiri, menirukan sandiwara radio,” katanya pada ANTARA News ditemui di Studio Aruna, Jakarta Barat.

Jebolan Intitut Kesenian Jakarta ini dulunya penakut serta pemalu. Sandiwara radio yang dulu didengarnya punya peran dalam meningkatkan kepercayaan dirinya saat belia. Dia ingin jadi pemberani seperti tokoh Brama Kumbara dalam Saur Sepuh.

Lulus SMA, ia memutuskan mengambil seni peran di Institut Kesenian Jakarta meski orangtua mendorongnya untuk belajar kedokteran.

“Tapi tujuan saya ke Jakarta sebenarnya mencari sanggar Prathivi,” katanya.

Dua tahun tinggal di ibukota, ia tak kunjung menemukan sanggar yang telah mempopulerkan sandiwara radio dan menelurkan tokoh terkemuka seperti Maria Oentoe.

“Akhirnya saya ngamen dengan membawakan sandiwara radio di bis. Uji kemampuan sekalian cari tambahan uang.”

Akhirnya ia berhasil menemukan Sanggar Prathivi yang memberi pekerjaan pertamanya mengisi sandiwara radio.

Kesempatan baru untuk menyulih suara di televisi akhirnya datang. Dimulai dari suara orang-orang di tengah keramaian, monster di Ksatria Baja Hitam hingga peran yang lebih besar seperti Fujiwara no Sai dalam Hikaru no Go. 

Menurut Agus, semua karakter — utama atau figuran— punya peran penting sebagai kesatuan dalam suatu tayangan. Mendapat pemeran utama bukan tujuan mutlak penyulih suara.

“Walau tidak dapat peran utama, bagaimana caranya biar peran itu disukai penonton.”

Proses belajar seorang penyulih suara tak pernah berhenti meski mereka sudah makan asam garam. 

“Coba-coba terus suara baru, eksplorasi lagi.”

Dia membeberkan resep menjaga suara yang jadi modal utama bekerja: air putih dan madu. Selain itu, gaya hidup sehat seperti tidak merokok serta istirahat cukup agar kondisi tubuh prima saat bekerja. 

Beberapa tahun terakhir, Agus juga menjadi pengarah dialog yang tugasnya serupa dengan sutradara dalam film. Selain mengarahkan penyulih suara selama proses dubbing, pengarah dialog kerap punya keleluasaan menyeleksi orang yang tepat untuk menghidupkan suatu karakter. 

Di luar itu, Agus punya perhatian untuk melahirkan generasi baru penyulih suara. Ia sering berbagi ilmu saat diundang mengisi lokakarya sulih suara. 

Dibandingkan dua dekade lalu, menjadi penyulih suara dinilainya relatif lebih mudah berkat perkembangan teknologi. Mereka yang tertarik bisa mencari tahu berbagai informasi di dunia maya, termasuk menimba ilmu pada para dubber profesional.

Agus berpesan pada orang-orang yang ingin mengikuti jejaknya untuk selalu menjaga profesionalisme. Salah satunya dengan pandai mengatur waktu agar tidak terlambat datang ke studio. Para penyulih suara berkerja secara bergantian di studio sesuai jadwal yang ditetapkan. 

Kondisi lalu lintas di Jakarta yang padat membuat perjalanan antar studio bisa memakan waktu lama. Padahal, penyulih suara sebagian besar adalah pekerja lepas yang bekerja di beberapa studio sekaligus.

Selain itu, sering-sering melatih intonasi dengan membaca dengan suara lantang. Biasakan juga mengekspresikan emosi dalam suara, sehingga hasil yang terdengar tidak monoton seperti membaca naskah.

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017