Istanbul (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Selasa bahwa temuan Ankara menunjukkan bahwa pemerintah Suriah masih memiliki senjata kimia dan mendesak diambil langkah untuk mencegah peluang penggunaannya.

Saat berbicara kepada media kelolaan negara TRT Haber di Italia, Cavusoglu juga mengatakan pemerintahan peralihan mendesak dibutuhkan di Suriah.

Ia mengatakan ancaman penggunaan senjata kimia akan terus ada selama Presiden Bashar al-Assad tetap berkuasa.

Sementara itu, keadaan di Suriah "menjadi perang antarbangsa" setelah peluru kendali Amerika Serikat menghantam pangkalan udara Suriah, kata Komite Internasional Palang Merah.

Komite tersebut memperluas kewajiban kemanusiaan kedua pihak untuk menangani tawanan perang.

AS menembakkan peluru kendali dari dua kapal perusaknya di Laut Tengah ke sebuah pangkalan, yang dikatakan Presiden AS Donald Trump sebagai tempat serangan senjata kimia maut dilancarkan pada awal April.

Rangkaian tembakan rudal itu merupakan serangan langsung pertama AS terhadap pemerintahan Bashar al-Assad dalam enam tahun perang saudara.

Washington mengatakan pemerintah Suriah adalah pihak yang melakukan serangan gas beracun pekan ini di kota Khan Sheikhoun di provinsi Idlib yang dikuasai para pemberontak. Serangan menewaskan sedikitnya 70 orang, yang sebagian besar di antaranya adalah warga sipil, termasuk anak-anak.

Komando angkatan darat Suriah telah membantah bertanggung jawab atas serangan.

Kementerian pertahanan Rusia mengatakan pencemaran gas itu merupakan dampak dari kebocoran gudang senjata kimia milik pemberontak yang terkena serangan udara pemerintah Suriah.

Rusia telah melancarkan serangkaian serangan udara bersama-sama dengan sekutunya, Assad, sejak September 2015 sementara pejuang Iran juga bertempur bersama pasukan pemerintah Suriah menghadapi kelompok-kelompok pemberontak dan militan Islamis.

Turki juga terlibat, melakukan serangan ke Suriah utara lebih dari enam bulan lalu untuk mendorong kelompok militan ISIS keluar dari perbatasannya dan menghadang pergerakan pasukan Kurdi.

Berdasarkan atas hukum kemanusiaan internasional, kalangan warga sipil dan fasilitas medis harus dilindungi tanpa memandang apakah konflik itu berlangsung secara internal atau internasional.

Pihak bertikai harus menjaga prinsip-prinsip kunci menyangkut pencegahan dan keseimbangan serta membedakan antara petempur dan warga sipil, antara infrastruktur militer dan sipil.

Prinsip tersebut telah dilanggar oleh berbagai pihak di Suriah, kata para pemimpin negara-negara Barat dan penyelidik kejahatan perang dari Perserikatan Bangsa-bangsa.

Dalam bentrok senjata antarbangsa juga ada aturan soal perlakuan terhadap petempur tertangkap, yang dianggap sebagai tawanan perang.

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017