Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian berkomitmen mendorong peningkatan penggunaan produk lokal guna menumbuhkan industri nasional khususnya di dalam proyek pemerintah dan BUMN, salah satunya adalah fiber optik yang kualitasnya telah mampu bersaing dengan produk impor.

"Namun, pelaku industri fiber optik dalam negeri melaporkan kepada kami bahwa tarif bea masuk untuk beberapa bahan bakunya masih memberatkan. Selain itu, para pengguna banyak yang memilih produk impor karena lebih murah," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pernyataan tertulis yang diterima ANTARA News, Jumat.

Lebih lanjut, Menperin menyampaikan, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk menjaga keberlangsungan industri fiber optik dalam negeri, yang telah berperan memberikan nilai tambah bagi sektor pendukungnya.

"Contohnya, fiber optik digunakan untuk modernisasi jaringan operator telekomunikasi yang sebelumnya menggunakan kabel tembaga," ujar Menperin.

Apalagi, permintaan fiber optik semakin meningkat seiring kebutuhan industri digital global yang terus mengikuti perkembangan teknologi terkini.

Saat ini, kebutuhan serat optik di Indonesia diproyeksi mencapai 8-9 juta kilometer per tahun dan berpotensi naik tinggi dalam jangka waktu pendek.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) I Gusti Putu Suryawirawan mengungkapkan, permintaan serat optik juga menjadi besar dengan adanya proyek Palapa Ring yang butuh hingga 36.000 kilometer.

"Selain itu, ada proyek kabel serat optik bawah laut. Bahkan, untuk koneksi pita lebar (broadband) rumah tangga, terdapat 70 juta rumah tangga yang membutuhkan sambungan internet jenis fiber to the home (FTTH)," kata Putu.

Peluang lainnya, dengan populasi Indonesia yang mencapai 250 juta penduduk, permintaan broadband untuk internet akan terus tumbuh. Terutama didorong dengan program pemerintah yang tengah gencar memperluas jaringan internet hingga ke pelosok.

Putu berharap, dengan naiknya kebutuhan kabel serat optik tersebut, akan mampu dipasok oleh industri dalam negeri karena selama ini masih dibanjiri produk impor. Dalam hal ini, Kemenperin akan menerapkan aturan SNI wajib untuk seluruh produk serat optik di Indonesia.

"Kami juga punya program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN), yang mewajibkan instansi pemerintah dan BUMN untuk menggunakan produk lokal," tegasnya.

Putu menjelaskan, pelaku industri dalam negeri meminta untuk penurunan tarif bea masuk komponen bahan baku seperti kawat baja dan plastik HDPE yang digunakan di dalam kabel serat optik.

"Padahal barang jadi impor untuk fiber optik tidak kena bea masuk, sehingga harga produk lokal kalah bersaing. Bea masuk yang dikenakan bervariasi mulai dari 5-10 persen," ungkapnya.

Tim Pemantau TKDN

Sebelumnya, Menperin Airlangga mengatakan, pemerintah akan membentuk tim pemantau tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di setiap produk yang utamanya digunakan pada proyek pemerintah. Ini sebagai salah satu langkah konkret pemerintah untuk membela kepentingan industri dalam negeri.

"Karena peraturan TKDN sudah ada, tinggal dibutuhkan enforcement untuk implementasinya. Jadi, nanti ada tim lintas kementerian dan lembaga yang akan memonitornya, tidak cuma pembelian, tetapi juga perencanaan," ujar Menperin.

Untuk sementara waktu, tim pengawas belum memberikan sanksi apabila ada industri yang tidak memenuhi target minimal TKDN sekitar 30 persen.

"Nanti penalti hanya berupa besarnya insentif dari pemerintah saja," tutur Airlangga.

Pemerintah akan bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam pelaksanaannya.

Selain itu, pengawasan TKDN, diharapkan mendorong pertumbuhan kinerja sejumlah industri prioritas, khususnya sektor energi seperti sektor pendukung industri migas, pembangkit listrik, dan distribusi listrik.

Menurut Airlangga, salah satu penerapan TKDN yang sukses adalah proyek pembangunan Floating Production Unit (FPU) di Yard Karimun, Kepulauan Riau dan akan beroperasi di Blok Muara Bakau dalam pengembangan Lapangan Jangkrik.

Kapal tersebut merupakan FPU terbesar yang pernah dibuat di Indonesia dan dirancang untuk pengolahan gas dengan kapasitas hingga 450 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Airlangga menambahkan, nilai tambah dalam proses akhir menjadi poin utama dalam perhitungan TKDN.

"Akumulasi dari total pembangunan yang paling penting adalah integrasi yang dihasilkan," tegasnya.

Misalnya, alat dan mesin pertanian, beberapa sudah ada yang diekspor.

"Kami juga berharap, Indonesia tidak hanya menjadi lokasi perakitan dari komponen-komponen impor," tambah dia.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017