Washington (ANTARA News) - Mark Cancian, purnawirawan tentara AS spesialis artileri dan bom, yang juga penasihat CSIS Washington, menyatakan alasan AS menjatuhkan "ibu segala bom" di Afghanistan adalah karena bom biasa tidak akan mampu menghancurkan terowongan dan gua.

Oleh karena itu dibutuhkan tidak biasa yang bisa menghancurkan gua dan sekitarnya sehingga tak lagi bisa dipakai untuk menyimpan senjata, kata Cancian seperti dikutip Reuters.

Sedangkan purnawirawan jenderal angkatan udara AS, Dave Deptula, mantan panglima pusat operasi udara pada Operation Enduring Freedom di Afghanistan pada 2001, menyebut GBU-43 (Guided Bomb Unit) atau "ibu segala bom" dibuat untuk menggantikan bom seberat 15.000 pound "Daisy Cutter" yang juga digelarkan di Afghanistan.

Daisy Cutter, yang pertama kali digunakan untuk membersihkan daratan bagi pendaratan helikopter selama Perang Vietnam, digelarkan sebagian untuk menciptakan efek psikologis dari ledakan superbesar.

Deptula, Cancian dan para pejabat AS menyatakan bahwa AS sebenarnya masih punya bom yang lebih besar dari "ibu segala bom", yakni bom seberat 14 ton bernama GBU-57 Massive Ordnance Penetrator (MOP).

Menurut mereka bom ini akan lebih efektif dalam menghancurkan situs uji coba nuklir Korea Utara karena kemampuannya dalam menembus beton yang sudah dipertebal dan pintu baja anti ledakan.

Deptula menyebut MOAB dirancang untuk menciptakan tekanan skala tinggi untuk meruntuhkan gua dan menciptakan efek ledakan dalam radius 1 mil. Sedangkan MOB, yang belum pernah digunakan dalam peperangan, dirancang untuk menembus sasaran-sasaran bawah tanah dan keras.

MOAB dan MOP punya cikal bakal bom besar "Tallboy" dan "Grand Slam" yang diciptakan Inggris pada Perang Dunia Kedua untuk digunakan menggembur sasaran-sasaran Nazi seperti situs peluncuran rudal V-1 dan V-2, serta kapal perang Tirpitz.

Deptula mengaku AS memiliki dua misi ketika menjatuhkan MOAB, yakni taktik militer semata, dan efek samping psikologis kepada lawan, demikian Reuters.



Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017