Tokyo (ANTARA News) - Puluhan anggota Parlemen Jepang, termasuk satu menteri kabinet, mengunjungi sebuah kuil korban perang Jepang pada Jumat (21/4), menjadikannya langkah yang dapat memicu demonstrasi di tempat lain di Asia, karena tempat suci tersebut dianggap sebagai simbol militerisme Jepang pada masa lalu.

Perdana Menteri Shinzo Abe bahkan mengirim sebuah persembahan ritual ke festival musim semi Yasukuni, yang berlangsung saat Jepang mencari kerja sama yang lebih besar dengan China dan Korea Selatan (Korsel) dalam menghadapi meningkatnya ketegangan mengenai program nuklir dan peluru kendali (rudal) Korea Utara (Korut).

Sejumlah negara tetangga di Asia sempat marah ketika politisi Jepang mengunjungi kuil yang terletak di pusat kota Tokyo itu karena menghormati 14 pemimpin Jepang yang dihukum oleh pengadilan Sekutu sebagai penjahat Perang Dunia II, bersamaan dengan kematian pelaku perang lainnya.

Sekitar 95 anggota parlemen memberikan penghormatan secara massal, dan televisi nasional Jepang NHK mengatakan, termasuk Menteri Komunikasi Sanae Takaichi yang biasanya berkunjung pada festival yang berlangsung dua kali setahun di kuil tersebut.

Pada tanggal 15 Agustus, ulang tahun menyerahnya Jepang dalam Perang Dunia II, juga menjadi jadwal rutin persembahan ke Kuil Shinto Yasukuni (Yasukuni Shrine) yang didirikan pada Juni 1869, bertepatan dengan Restorasi Meiji.

Menteri Kesehatan Yasuhisa Shiozaki mengirim sebuah persembahan ritual layaknya Perdana Menteri Abe, namun diperkirakan tidak akan berkunjung, demikian laporan NHK, yang dikutip Reuters.

Abe pernah mengunjungi kuil tersebut satu kali, pada Desember 2013, sejak menjadi perdana menteri periode sebelumnya.

Alih-alih hadir secara pribadi, Abe malah memilih untuk mengirimkan persembahan ritual beberapa kali dalam upaya memperbaiki hubungan dengan China dan Korsel, yang telah menegang akibat sengketa teritorial di Semenanjung Korea.

Tidak ada tanda-tanda bahwa Menteri Pertahanan Tomomi Inada mengunjungi atau melakukan persembahan di tempat suci tersebut, yang pernah dituduh oleh China telah melakukan kesalahan interpretasi sejarah masa perang.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017