Jakarta (ANTARA News) - Seseorang pernah berkata: "Bagi mereka yang menggunakan sepotong ayat untuk kepentingan sendiri, cobalah belajar pada Kartini."

Penggalan kalimat itu kini terasa begitu relevan ketika Jakarta khususnya, tak terkecuali masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air sedang menghadapi goncangan ancaman disintegrasi dan intoleransi.

Ayat-ayat kitab suci kerap kali digunakan sebagai alat untuk kepentingan mengejar ambisi hingga ancaman intoleransi beragama pun terjadi.

Maka memaknai cara Kartini untuk memahami ayat kitab suci menjadi cara terbaik untuk bercermin tentang betapa perempuan dalam sejarah masa lalu bangsa Indonesia yang bahkan harus mengalami pingitan di balik tembok dan larangan menempuh pendidikan tinggi mampu mendorong ayat-ayat kitab suci dimaknai dengan baik.

Ketakjuban Kartini pada ayat Al-Quran, Surat Al-Baqoroh 257, yang penggalannya berbunyi

"Minadz-Dzulumaati ilan-Nuur" menjadi titik balik revolusi yang mengubah pandangan Barat kepada wanita Jawa yang selama itu dianggap lemah.

Kalimat itulah yang oleh Armin Pane diterjemahkan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang dalam buku terbitan Balai Pustaka.

Namun apapun dan bagaimana pun cara ayat itu kemudian diterjemahkan, Kartini toh tetap mampu menjadikan kitab suci sebagai inspirasi.

Ia mendapati makna ayat tersebut sebagai inti dari dakwah Islam sebagai agama yang ia peluk, yang artinya membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran) atau "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".

Perempuan yang kemudian diperistri oleh Bupati Rembang ke-7 Djojo Adiningrat itu menjadikan ayat kitab suci sebagai pegangannya untuk sesuatu yang kini dikenal orang sebagai emansipasi.

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini menulis; "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai."

Selain itu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT."

Cara Kartini memahami ayat-ayat kitab suci menunjukkan bahwa kaum wanita bahkan dalam keadaan paling terbatas sekalipun mampu mencapai makrifat tertinggi atau mengenal Tuhannya dengan sangat yakin.


Potensi Perempuan

Meski pernah mengalami masa-masa sulit, yakni hidup di zaman ketika perempuan sebagai "konco wingking" atau teman di belakang dalam dunia yang serba patriarkal, faktanya Kartini adalah sosok yang justru mendorong Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Quran terlahir.

Itulah tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab hasil tulisan Kiai Soleh Darat.

Begitu penasarannya Kartini akan kitab Al-Quran yang selama berabad-abad begitu tabu untuk diterjemahkan, mampu mengubah keadaan.

Kartini yang merengek bagaikan anak kecil meminta bertemu Kyai Soleh membawa pada masa dimulainya Al-Quran ditafsirkan di Tanah Air.

Meski jilid pertama yang terdiri dari 13 juz mulai dari Surat Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim tak pernah terselesaikan karena Kyiai Soleh meninggal, dipelajari dengan amat tekun oleh Kartini.

Pemahaman "zonder pretensi", tanpa pamrih, tanpa kepentingan selain revolusi itulah yang membuat dan menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa.

Sejak itulah bangsa Indonesia berkesempatan untuk dapat mempelajari tafsir Al-Quran dengan lebih hakiki sesuai dengan bahasa yang dipahami.

Fakta itu pula yang menunjukkan betapa potensi perempuan begitu besar hingga mampu mengubah cara berpikir orang menuju sesuatu yang semestinya lebih mudah dan lebih baik.

Potensi perempuan itu pula yang disadari dalam konsep kekinian oleh Presiden Joko Widodo, misalnya, dengan memberikan begitu banyak kesempatan kepada perempuan untuk memimpin.

Menurut dia, justru lebih enak bekerja dengan perempuan ketimbang laki-laki sehingga dalam kabinetnya kini ada sembilan menteri perempuan yang menempati pos-pos penting. Bahkan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah menteri perempuan terbanyak di dunia.

"Indonesia yang kita cintai bisa menjadi seperti sekarang karena adanya peran perempuan," kata Presiden.


Menarik Perhatian

Fakta yang menarik tentang Kartini menjadi perhatian sejumlah tokoh dari luar negeri. Wakil Presiden Amerika Serikat Michael R. Pence, misalnya dalam kunjungannya ke Indonesia, sempat menanggapi soal tokoh Kartini sebagai contoh yang baik bagi Indonesia dalam menghargai kesetaraan perempuan.

"Kartini adalah perempuan hebat, dan Indonesia merupakan negara yang baik bagi kami dalam menghargai kesetaraan perempuan," katanya.

Ia berujar, keberadaan Kartini di Indonesia bisa menjadi inspirasi bagi gerakan perempuan di dunia, misalnya dalam menempuh pendidikan untuk memperkuat pembangunan manusia di Asia. "Saya lihat Indonesia sudah melakukan itu," ucap Pence.

Maka kemudian menjadi sebuah ketimpangan yang sulit dimengerti ketika bangsa Kartini sendiri justru tidak banyak belajar dari sesuatu yang telah dipelajari oleh perempuan asal Jepara, Jawa Tengah, itu.

Dalam segala keberadaan yang tiada batas, masyarakat di Tanah Air justru cenderung tidak menyukuri keadaan dengan baik.

Mereka semestinya belajar tentang bagaimana menyarikan tafsir dengan baik, tidak menggunakannya secara serampangan, dan menjadikannya sebagai pedoman yang mencerahkan kehidupan.

Barangkali kita perlu belajar dari Kartini bahwa "Minadz-Dzulumaati ilan-Nuur" ...Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya (iman)...

Dalam kondisi yang terang kini, mestinya bangsa Indonesia semakin mampu melihat jarak pembeda antarsesuatu.

Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017