Manila (ANTARA News) - Asia Tenggara akan menjadi kawasan tumbukan antara arus baru proteksionisme ekonomi yang berhembus dari Barat dengan kekuatan lama liberalisme perdagangan yang sudah lama menjadi mantra globalisasi dunia.

Di Manila pekan ini, 10 kepala negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bertemu untuk menyikapi secara bersama kecenderungan proteksionis yang dimulai oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal bulan ini.

Saat itu Trump mengeluarkan daftar 16 negara yang dicurigai melakukan kecurangan praktik perdagangan dengan Amerika Serikat. Dari daftar tersebut, empat di antaranya adalah negara-negara Asia Tenggara; Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Washington memang tengah memalingkan wajahnya dari dunia. Pada era sebelum Trump, Gedung Putih selalu menjadi aktor utama penyeru liberalisme ekonomi global dengan menginisiasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ataupun pakta-pakta perdagangan bebas di kawasan seperti Amerika Utara (AFTA) dan Asia Pasifik (TPP).

Namun sejak Trump mengalahkan Hillary Clinton dalam pemilihan presiden tahun lalu, kecenderungan itu berbalik arah. Washington kini menarik diri dari TPP dan akan meninjau ulang AFTA. Selain itu Trump juga berjanji akan menarik kembali perusahaan-perusahaan yang mengalih-keluarkan ("offshoring") pabrik ke dunia ketiga untuk beroperasi kembali di Amerika Serikat.

Dan yang terbaru adalah keluarnya keputusan presiden ("executive order") untuk menyelidiki potensi kecurangan praktik perdagangan 16 negara yang telah disebutkan di atas.

Kecenderungan tersebut kembali nampak secara implisit saat Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence mengunjungi Indonesia pada pekan lalu.

"Saya percaya Indonesia dan Amerika Serikat bisa mengembangkan hubungan dagang yang lebih adil bagi kedua pihak," kata Pence di Istana Negara, Jakarta pada Kamis (21/4) lalu.

Negara-negara ASEAN sendiri sejauh ini sudah menanggapi secara normatif kecenderungan proteksionisme tersebut saat para menteri keuangan di kawasan ini bertemu di Cebu, Filipina, pada 7 April lalu, empat hari setelah Trump daftar hitam 16 negara.

"Kami mengakui adanya resiko naiknya tendensi proteksionisme dan juga perkembangan global yang bisa merusak proses pemulihan ekonomi global. Kami menyeru institusi finansial internasional untuk terus menerapkan sistem multilateral yang terbuka," kata para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara ASEAN dalam pernyataan bersama.

"Kami terus berkomitmen untuk mempromosikan perdagangan yang lebih bebas antara negara-negara anggota ASEAN," kata mereka.

Posisi sejumlah negara-negara Asia Tenggara terkait pertukaran barang lintas batas yang terbebas dari segala hambatan memang jelas. Malaysia, Thailand, dan Vietnam adalah negara yang perekonomiannya lebih banyak bergantung dari ekspor.

Dalam laporan perkiraan perkembangan ekonomi Asia Tenggara tahun 2017 oleh Bloomberg, Malaysia dinilai sebagai negara yang paling beresiko terhadap dampak negatif kecenderungan proteksionisme dari Washington. Sekitar 74 persen ekspor negara tersebut merupakan perlengkapan mesin dan transportasi yang bisa saja diproduksi kembali oleh Amerika Serikat di dalam negeri.

Demikian pula dengan Thailand yang bergantung pada ekspor barang-barang bernilai tinggi seperti mobil, tulis Bloomberg.

Kedua negara tersebut berpotensi menjadi katalis pembicaraan percepatan tercapainya kesepakatan pakta perdagangan bebas Kemitraan Regional Ekonomi Komprehensif (RCEP) dalam pertemuan konferensi tingkat tinggi (KTT) ASEAN di Manila.

RCEP adalah usulan perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan enam negara lain seperti Australia, India, Jepang, China, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

RCEP akan menjadi alternatif bagi Malaysia maupun Vietnam untuk mendiversifikasi tujuan penjualan barang-barang produksi mereka tanpa hambatan, setelah TPP bubar di tengah jalan akibat mundurnya Amerika Serikat. Ini adalah kesepakatan yang berpotensi menguntungkan bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor seperti Malaysia mengingat negara-negara RCEP punya populasi total 3,4 milyar dengan kontribusi terhadap ekonomi global mencapai 30 persen.

Sementara itu posisi Indonesia sendiri lebih dilematis jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, ataupun Vietnam. Berbeda dengan ketiga negara yang banyak memproduksi barang olahan tersebut, ekspor utama Indonesia adalah komoditas mentah dengan tujuan utama China. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak disokong oleh konsumsi domestik, bukan ekspor.

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, atau lebih dikenal dengan nama Jokowi, juga dituding banyak pihak mulai mengarah pada praktik-praktik proteksionisme justru karena dominasi komoditas mentah dalam neraca perdagangan internasionalnya.

Jokowi, misalnya, melanjutkan kebijakan larangan ekspor bijih tambang yang dimulai oleh pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang bertujuan untuk mendorong industri pengolahan bahan tambang dalam negeri yang bisa menciptakan barang bermata rantai produksi lebih tinggi. Selain itu Jokowi juga dinilai terlalu keras dalam negosiasi perpanjangan kontrak dengan sejumlah perusahaan tambang asing.

Pemerintah bahkan mendapat kritik keras dari media-media Barat akibat kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengusir JP Morgan pada Januari lalu saat institusi finansial global tersebut memberi penilaian buruk terhadap perekonomian Indonesia.

Kecenderungan terhadap proteksionisme itulah yang mungkin menjadi pertimbangan utama Wakil Presiden Pence saat memutuskan Indonesia sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara yang dia kunjungi saat melawat ke Asia.

Amerika Serikat memang harus segara mengambil langkah cepat untuk mengimbangi respon Asia Tenggara terkait proteksionisme Trump. RCEP pada mulanya adalah jawaban China terhadap TPP yang merupakan alat bagi pendahulu Trump, Barack Obama, mengurung Beijing.

Tanpa TPP, Amerika Serikat kini tidak punya kaki lagi untuk menebar pengaruh di Asia Tenggara. Sementara di sisi lain, hadirnya RCEP berpotensi membuat Washington kehilangan sekutu tradisional di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Australia.

Semua pertarungan itu mungkin akan hadir dalam konferensi ASEAN di Manila pekan ini. Akan menarik untuk mengamati bagaimana kepentingan nasional negara-negara Asia Tenggara saling beradu di Manila di bawah bayang-bayang dua kekuatan besar dunia, China dan Amerika Serikat.

Oleh GM Nur Lintang Muhammad
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017