Jakarta (ANTARA News) - Hermina Kosay dan Wilma Sawaki telah mengabdikan hidupnya bagi masyarakat pedalaman Papua agar menjadi lebih baik.

Hermina Kosay, perempuan suku Dani, adalah lulusan Administrasi Niaga Universitas Parahyangan Bandung.

Hermina adalah instruktur di Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) sejak pertama kali dibuka pada 2007. IPN didirikan Freeport sebagai balai latihan kerja untuk mempersiapkan SDM Papua.

Menurut Hermina, saat dihubungi Rabu, tugasnya di IPN mempersiapkan calon peserta magang (pre apprentice) di perusahaan pertambangan itu agar bisa membaca dan berhitung untuk tes berikutnya, sehingga dapat masuk program "apprentice".

Ia mengaku tertantang dengan tugasnya tersebut karena harus membuat para calon peserta, yang berusia produktif antara 18-30 tahun, bisa membaca dan berhitung dalam enam minggu.

Tantangan lain yang dihadapi adalah murid-muridnya berasal dari beragam tingkat kemampuan pendidikan.

"Ada yang sudah bisa membaca tapi belum lancar, ada yang baru mengenal huruf dan bahkan ada yang belum bisa membaca," katanya.

Hermina pun kerap memberikan motivasi dan membina muridnya tersebut agar semangatnya tidak padam.

Sering kali, ia mesti menghadapi muridnya yang marah karena hasil tesnya tidak lulus.

Tapi, hal itu tidak membuat ibu tiga anak tersebut mundur.

Ia justru makin tertantang mengabdikan dirinya untuk masyarakat.

"Saya adalah bagian dari masyarakat ini. Saya sayang dengan mereka dan ingin mereka mendapat kehidupan lebih baik," ujar Hermina ketika ditanya latar belakangnya menjadi instruktur.

"Dengan adanya IPN yang memiliki fasilitas lengkap dan metode belajar yang langsung praktek, telah sangat membantu adik-adik yang usianya produktif. Walaupun kemampuan mereka di bawah standar dan pendidikannya tidak tinggi, tapi dengan IPN ini, mereka memperoleh pelatihan yang tepat sasaran," katanya.

Ia meminta  tempat ini jangan sampai ditutup dan bahkan mesti ditingkatkan, karena sangat menolong. "Kalau tidak ada IPN, maka saya yakin masyarakat terutama adik-adik usia produktif akan menganggur dan tidak ada kehidupan yang lebih baik, terutama pekerjaan yang sifatnya keahlian," katanya lagi.

Sedangkan Wilma Sawaki memutuskan menjadi sukarelawan karena suaminya adalah karyawan Freeport dan, ia sebagai istri, merasa terpanggil memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pada 2011, ia bergabung menjadi anggota PKK Tembagapura dengan mengajari ibu-ibu di Kampung Banti dan sekitarnya merangkai bunga dari bahan daur ulang, menganyam, dan lainnya.

Selanjutnya, pada April 2012, bersama ibu-ibu PKK Tembagapura dan persatuan wanita gereja, ia membuka pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kampung Kimbeli, setelah melihat anak-anak usia sekolah dasar belum mengenal huruf.

Disusul membuka PAUD di tiga kampung lainnya yakni Banti I, Banti II, dan Opitawak, dengan sekitar 40 murid.

Menurut dia, PAUD Opitawak berlokasi paling jauh dan berada di atas bukit, sehingga dirinya harus berjalan kaki menanjak sejauh tujuh kilometer.

Tapi, ibu lima anak itu melakukannya dengan gembira.

Wilma mengatakan aktivitas itu adalah dampak berantai (multiplier effect) yang positif dari keberadaan Freeport untuk masyarakat sekitar.

Menurut dia yang tengah mempersiapan Hari Kartini bersama ibu-ibu PKK lainnya, perusahaan juga kerap mendukung tumbuh kembang anak melalui kegiatan komunitas seperti pemberian sepatu, alat tulis, dan program cuci tangan dengan sabun.

Tak hanya mengajar, bersama ibu-ibu PKK, ia juga memberikan makanan sehat tambahan.

Wilma mengaku tidak merasa jenuh melayani masyarakat melalui PAUD, apalagi setelah anak didiknya bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017