Kupang (ANTARA News) - Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Prof Dr Felysianus Sanga MPd saat ini tengah melakukan penelitian tentang makna 22 ciuman dari masyarakat Sabu Raijua di Nusa Tenggara Timur.

"Makna 22 ciuman itu merupakan budaya masyarakat Sabu Raijua, namun masing-masing ciuman memiliki makna sendiri-sendiri," katanya di Kupang, Kamis, saat menyampaikan "Makna Budaya Adat dan Beradaban" pada Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-53 di Lapas Penfui Kupang.

Ia mengatakan tradisi mencium bagi masyarakat di Kabupaten Sabu Raijua memiliki makna tersendiri dan dilakukan kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja.

"Mencium hidung sama dengan menyapa orang lain," ujarnya.

Tradisi mencium tersebut dalam bahasa setempat disebut Henge'do, dan biasa dilakukan oleh masyarakat Sabu dikala menyambut atau bertemu dengan seseorang.

Tradisi ini memiliki makna yang dalam, sebagai bentuk keakrabah dan memiliki rasa keterikatan antara satu dengan yang lainnya sebagai satu saudara.

Ia menjelaskan, hidung adalah alat pernapasan yang bermakna kehidupan. Dengan menanamkan filosofi tersebut, masyarakat Sabu Raijua memaknai tradisi tersebut sebagai unsur yang bisa menghidupkan rasa kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya, sekalipun baru pertama kali bertemu.

Henge'do atau tradisi mencium hidung ini dilakukan tanpa memandang jenis kelamin, status, strata sosial serta usia. Selain sebagai tanda persaudaraan, tradisi mencium hidung juga sebagai tanda penghormatan terhadap yang lebih tua sebagai tanda kejujuran.

Tradisi ini kemudian menular dan berkembang hampir ke seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu bentuk persaudaraan yang tulus.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh profesor budaya asal Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur itu, ada 22 ciuman yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Raijua yang memiliki makna berbeda-beda.

Selain meneliti budaya cium hidung bagi masyarakat Sabu Raijua, Prof Felysianus Sanga juga meneliti motif kain tenun ikat suku Sabu Raijua yang terdiri dari 56 motif.

Pewarta: Aloysius Lewokeda
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017