Jakarta (ANTARA News) - Indonesia tahun ini terpilih sebagai tuan rumah Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day/WPFD yang digelar di Jakarta pada 1-4 Mei.

Momentum itu diharapkan bisa dimanfaatkan untuk menjadikan tatanan pers Indonesia sebagai rujukan bagi negara-negara lain.

Tak sedikit insan pers yang mengatakan Indonesia sekarang telah memiliki tingkat kebebasan pers yang lebih baik dari pada masa lalu.

Tatanan pers di Indonesia pun dipandang cukup unik karena hanya diatur oleh undang-undang tanpa ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah (PP).

"Undang-undang itu menegaskan bahwa tak ada intervensi pemerintah dalam penyelenggaraan pers di Tanah Air," kata Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara ketika mempromosikan WPDF dalam acara jalan santai di Jakarta pekan lalu.

Don Bosco Salamun, salah seorang praktisi media nasional, dalam salah satu sesi dialog Hari Kebebasan Pers Dunia 2017 di Jakarta, Senin (1/5), mengatakan bahwa pasca-reformasi merupakan masa yang ternikmat bagi kebebasan pers di Indonesia setelah mengalami banyak tekanan pada pemerintahan Orde Baru.

Kebebasan pers saat ini tidak hanya dinikmati oleh insan pers yang terjun di dunia maya, namun juga masyarakat yang bisa mengakses segala macam informasi melalui perangkat teknologi, kata Don Bosco.

"Tidak hanya jurnalis yang bisa menyebarkan informasi, masyarakat pun bisa dengan membuat blog, vlog, dan sebagainya atau menerima sumber informasi yang tidak terbatas," tutur Don Bosco, yang merupakan Direktur Pemberitaan Metro TV tersebut.

Statistik pun menunjukkan jumlah jurnalis meningkat secara signifikan.

Jika sebelum reformasi jumlah jurnalis di Indonesia hanya sekitar 3.000-4.000 orang, angka tersebut naik menjadi 10 kali lipat pasca-reformasi, tutur Don Bosco.

Sumber informasi yang terbuka luas dan meningkatnya jumlah jurnalis saat ini tidak serta merta mencerahkan maupun mencerdaskan para pembacanya karena pada praktiknya memunculkan masalah baru, yaitu kebenaran informasi.


(ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Belakangan ini, kabar palsu atau yang populer disebut "hoax" bukan hanya menjadi isu nasional namun juga telah menjadi masalah global.

Di negara-negara besar, termasuk Indonesia, informasi berlebihan dan kebohongan menyebar dengan cepat di media masa, terutama ketika ada pemilihan kepala daerah.

Tingkat literasi masyarakat Indonesia yang rendah pun menjadi salah satu faktor cepat tersebarnya informasi-informasi palsu tersebut.

"Hoax juga marak karena budaya baca menurun dan masyarakatnya aktif memegang gawai," kata Kepala Editor Trans Media Titin Rosmasari saat menjadi pembicara pada ajang World Press Freedom 2017.

(Baca: Hoax marak akibat literasi masyarakat rendah)

UNESCO pada 2012 melansir data yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 atau satu orang yang memiliki minat baca dari setiap seribu penduduk.

Ditambah dengan data lembaga penelitian Nielsen yang menyebutkan penduduk Indonesia yang setiap hari dapat menghabiskan waktu berselancar di dunia maya menggunakan komputer selama empat jam 42 menit, berselancar di telepon genggam selama tiga jam 33 menit dan menghabiskan waktu melalui media sosial selama dua jam 51 menit.

"Dengan waktu selama itu, semakin banyak waktu yang digunakan untuk membaca dan membagikan berita hoax," kata dia.

Orang yang melek pengetahuan pun kadang ikut terjebak mempercayai serta menyebarkan kabar palsu tersebut ke kerabat atau siapa pun yang kontaknya ada di gawainya karena tidak hati-hati dan kurang teliti.

Belakangan ini pun, kepercayaan masyarakat kepada media arus utama juga menurun karena tak jarang organisasi pers yang seharusnya independen malah ditumpangi oleh kepentingan bisnis dan politik sebagian kalangan.

Sebagian masyarakat pun akhirnya dengan mudah mempercayai kabar-kabar palsu yang biasanya menggunakan judul yang sensasional, menggunakan kata-kata provokatif seperti "lawan" atau "sebarkan" di media sosial.

Tampaknya ini adalah pekerjaan rumah bagi media arus utama untuk dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan bekerja secara profesional dan sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik.

Menkominfo Rudiantara pun mengritisi tindakan sejumlah pihak tak bertanggung jawab yang memanfaatkan bebasnya keterbukaan informasi di Indonesia untuk menyebarkan kabar palsu kepada masyarakat.

"Itu yang harus kita tata sama-sama. Artinya keterbukaan dan kebebasan pers harus dibarengi dengan tanggung jawab," kata Rudiantara.


(ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Walaupun, pemerintah pun telah berupaya untuk melawan kabar palsu dengan membuat Undang Undang ITE, memblokir situs-situs yang memuat perjudian, penipuan juga isu SARA, namun, usaha tersebut tak akan cukup jika tidak dibarengi oleh peran serta masyarakat dan para pegiat jurnalistik itu sendiri.

Mengangkat tema "Critical Minds for Critical Times: Medias Role in Advancing Peaceful, Just, and Inclusive Society", WPFD yang diperingati setiap 3 Mei mengajak wartawan mengevaluasi kebebasan pers di seluruh dunia, mempertahankan media dari serangan terhadap kebebasan mereka, serta memberikan penghormatan kepada wartawan yang telah kehilangan nyawa saat menjalankan profesinya.

Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menjelaskan bahwa tema tersebut diangkat sebagai bentuk solidaritas dunia untuk mencegah kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di mana-mana, terutama di Timur Tengah dan Amerika Latin.

"Tetapi di luar itu munculnya hoax dan fake news juga menjadi perhatian dunia. Kita ingin mendorong supaya pada momen WPFD kita memikirkan tentang peran penting jurnalisme untuk mengabdi pada kepentingan publik," tuturnya.

Acara WPDF 2017 dijadwalkan akan resmi dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, 3 Mei dan akan ditutup oleh Menkominfo Rudiantara pada 4 Mei.

Tak kurang dari 1.300 insan pers dari luar dan dalam negeri ikut berpartisipasi dalam WPDF 2017.

Dalam WPFD 2017 yang juga dihadiri oleh Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova serta Presiden Joko Widodo direncanakan memberikan penghargaan jurnalistik Guillermo Cano kepada individu, organisasi, atau institusi yang telah memberikan kontribusi luar biasa terhadap pembelaan atau promosi kebebasan pers di dunia, terutama jika upaya tersebut dicapai melalui cara-cara berbahaya. ***2***

Oleh Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017