Mbah Getho, nama panggilan Sodimejo (146) yang diperkirakan sebagai manusia tertua di dunia, tutup usia di rumahnya pada Minggu (30/4), sekitar pukul 17.45 WIB.

Warga RT.18 RW.06 Dukuh Segeran, Cemeng, Kecamatan Sambung Macan, Sragen, Jawa Tengah, memenuhi rumah duka dan melepas jenazah Mbah Gotho ke tempat pemakaman Tanggung, sekitar 300 meter dari kediamannya.

"Saya ketemu beliau semasa hidupnya menerima apa adanya, dari semua pemberian orang. Beliau sudah memesan batu nisan untuk kuburannya sejak 1992," kata Wakil Bupati Sragen Dedy Endriyatno  saat melayat ke rumah duka. 

Mbah Gotho menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Soehadi Prijonegoro Sragen selama enam hari.

Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen memberi perhatian kepada Mbah Gotho misalnya dengan mengirim petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ke rumah saat membuat KTP elektronik.

Warga yang mengantar jenazah Mbah Gotho hingga ke tempat peristirahatan terakhir di tempat pemakaman juga merasa kehilangan sosok manusia tertua itu.

"Saya melihat semasa hidupnya Mbah Gotho sering menolong orang, dan penyabar," kata Sugi, salah satu pelayat warga setempat.

Suryanto (47) salah satu cucu Mbah Gotho mengatakan kakeknya makan sehari-sehari tidak mempunyai pantangan, makan yang disenangi sayur yang berkuah, sambal dengan tempe goreng.

"Makanan itu, dan minum teh manis yang disukai oleh Mbah Gotho. Beliau seusia itu, masih mau makan sate kambing dan tidak ada masalah," kata Suryanto.

Menurut dia, pesan terakhir Mbah Gotho adalah anak dan cucu agar ikhlas jika Tuhan memanggilnya.

Mbah Gotho dibawa ke rumah sakit karena sakit pada lambungnya pada 12 April 2017 lalu setelah enam hari minta pulang.

Menurut sang cucu, Mbah Gotho ketika di rumah sakit akan mendapat transfusi darah sebanyak tujuh kantung, tetapi baru transfusi tiga kantung, yang bersangkutan sudah minta pulang dan diizinkan oleh dokter pada 17 April.

"Beliau meninggal dunia karena kondisinya melemah, tidak mau makan karena perutnya merasakan kenyang dan tidak mau merepotkan orang lain," kata Suryanto usai mengantar jenazah kakeknya itu ke pemakaman.

Menurut dia, yang perlu dijadikan contoh dari sosok Mbah Gotho antara lain memiliki kesabaran yang lebih. Jika dia merasakan lapar atau haus, tidak mau meminta makan atau minum. 

Mbah Gotho dalam satu bulan terakhir makannya disuapi oleh cucu cucunya, tetapi fisiknya masih sehat.

Suryanto mengemukakan beberapa waktu lalu tim dokter dari Amerika Serikat datang ke Mbah Gotho untuk mengambil sampel DNA, gigi, dan diambil air kencingnya.

Tim dokter dari luar negeri tersebut, beberapa hari kemudian mengirimkan hasil pemeriksaan terhadap Mbah Gotho dan membenarkan usia Mbah Gotho sebagai manusia tertua di dunia.

Jenazah Mbah Gotho setelah dimakamkan di tempat pemakaman Tanggung Grasak Plumbon, Sambung Macan, sekitar 300 meter dari rumah duka, langsung dipasang batu nisan atas permintaan almarhum semasa hidupnya.

Suwarni (42) cucu Mbah Gotho lainnya mengatakan kakeknya pertama kali diperiksa oleh dokter saat dirawat di RSUD Sragen.

Menurut Suwarni, jika Mbah Gotho badannya merasakan tidak enak, hanya dikerok kemudian bisa sembuh dan sehat kembali.

Mbah Gotho sebelumnya juga sempat mendapat bantuan alat pendengaran, dan sangat membantu sekali saat menerima tamu-tamunya untuk komunikasi. Namun, sejak sakit alat pendengaran itu tidak dikenakan lagi.

Suwarni mengatakan, Mbah Gotho saat sakit pernah mengatakan jika sudah sembuh ingin bermain ke rumah cucunya di Ngawi, Suparmin. Suparmin adalah kakak Suryanto.

Ia mengatakan Mbah Gotho merupakan anak kedua dari 12 bersaudara yang semuanya sudah meninggal dunia. 

Semasa mudanya Mbah Gotho dikenal sebagai seorang petani. Kegiatan yang disenangi suka mencari ikan di Bengawan Solo, dan menolong orang lain. 

Dia juga dikenal penyabar dan apapun disikapi dengan selalu ikhlas, sehingga diberikan panjang usia.

"Beliau pada zaman perang perjuangan melawan penjajah Belanda, sering menolong para pejuang yang terluka kena tembak," kata Suwarni.

Oleh Bambang Dwi Marwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017