kekerasan yang terjadi pada tragedi September 1965 dan Mei 1998 maupun tragedi lainnya yang terjadi di Papua, Maluku, Poso, Solo, Semarang, Bandung, Medan, Aceh dan lain-lain berakar pada kebencian yang membara dalam sanubari para pelaku kekerasan
Sebagai seorang warga Indonesia, saya sempat mengalami tragedi September 1965 dan Mei 1998. Saya beruntung masih hidup sampai saat saya menulis naskah ini.

Namun sejak September 1965, ayah kandung dan beberapa sanak keluarga saya menghilang dan sampai kini belum diperoleh kejelasan mengenai nasib para beliau.

Dua keponakan perempuan saya yang pada saat kerusuhan Mei 1998 terjadi berada di Jakarta untuk bersekolah termasuk mujur sebab dengan susah payah berhasil saya selamatkan dari lautan api yang membakar Jakarta.

Namun saya sadar bahwa tidak semua sesama warga Indonesia seberuntung saya dan dua keponakan saya itu. Hanya mereka yang mengalaminya sendiri yang dapat merasakan bagaimana berat derita harus dipikul ketika sanak keluarga tertimpa musibah.

Dari tragedi September 1965 dan Mei 1998 sebenarnya kita (kalau mau) dapat memetik pelajaran demi tidak mengulang kembali kekeliruan yang sama.

Tidak bisa disangkal bahwa kekerasan yang terjadi pada tragedi September 1965 dan Mei 1998 maupun tragedi lainnya yang terjadi di Papua, Maluku, Poso, Solo, Semarang, Bandung, Medan, Aceh dan lain-lain berakar pada kebencian yang membara dalam sanubari para pelaku kekerasan.

Beranekaragam alasan untuk melampiaskan kebencian. Yang paling dilazimkan adalah apa yang disebut sebagai SARA.

Namun apa yang saya pribadi alami pada September 1965 maupun Mei 1998 di mana saya dan sanak keluarga diselamatkan oleh sesama warga Indonesia yang justru beda agama, suku dan ras dengan kami, secara tidak terbantahkan mematahkan anggapan bahwa bangsa Indonesia adalah rasis dan intoleran.

Insan pertama yang menelepon untuk menanyakan nasib saya pada saat tragedi Mei 1998 mulai meledak adalah Prof. Emil Salim yang beda ras, suku dan agama dengan diri saya.

Yang menyelundupkan saya ke luar kota Jakarta pada Mei 1998 adalah dua sahabat saya yang orang Jawa dan Batak. Yang menyelamatkan sanak keluarga saya dari angkara murka yang merajalela di Pulau Dewata adalah umat Hindu Bali.

Tim Gabungan Pencari Fakta mengungkapkan fakta bahwa mayoritas korban Tragedi Mei 1998 bukan etnis atau umat agama tertentu, namun rakyat miskin kota Jakarta.

Kesimpulan yang lebih relevan ketimbang SARA adalah kebencian akibat kesenjangan sosial yang dibiarkan meledak menjadi kekerasan yang dilakukan di dunia oleh sesama manusia terhadap sesama manusia atau yang dilakukan di Indonesia oleh sesama warga Indonesia terhadap sesama warga Indonesia.

Komnas Perempuan

Layak dihargai, prakarsa Komnas Perempuan membangun memorialisasi atas tragedi Mei 1998 terkait kekerasan seksual.

Komnas juga mendokumentasikan peristiwa kekerasan seksual itu melalui Pelapor Khusus Kekerasan Seksual Mei 1998 dan menyampaikannya kepada para pengambil kebijakan.

Memorialisasi itu berhasil diwujudkan atas kerja sama dengan berbagai pihak seperti komunitas korban, masyarakat sipil yang bekerja untuk mengadvokasi hak korban dan juga instansi pemerintah.

Memorialisasi yang saat ini menjadi perhatian adalah monumen di permukiman korban Klender Jakarta Timur, prasasti di makam massal korban tragedi 1998 dan TPU Pondok Ranggon.

Komnas juga meminta Kemendikbud memasukkan tragedi Mei 1998 sebagai bagian dari materi pendidikan sejarah di sekolah.

Pemerintah juga diminta memenuhi hak korban seperti peringatan di tahun-tahun sebelumnya. Komnas Perempuan mengajak masyarakat terus merawat ingatan bersama atas tragedi Mei 1998, termasuk ingatan atas kekerasan seksual terhadap perempuan yang hingga saat ini sulit terungkap sebagai bagian dari memori sejarah demi mencegah keberulangan serupa di masa depan.

Tim Gabungan

Namun yang terpenting untuk diperhatikan adalah hasil investigasi lapangan yang dilakukan Tim Gabungan Pencari Fakta yang tak kenal lelah dalam gigih mencari fakta di balik tragedi Mei 1998.

Fakta yang ditemukan Tim Gabungan Pencari Fakta sangat penting melengkapi upaya preventif dan promotif agar jangan sampai kekeliruan masa lalu terulang kembali.

Telaah kekeliruan masa lalu menjadi bahan utama dalam mencegah kekeliruan masa lalu terulang kembali demi membangun masa depan yang lebih baik.

Dalam memantapkan upaya mencegah kekeliruan masa lalu terulang kembali, justru kita termasuk atau bahkan sebenarnya justru terutama kaum penguasa yang sibuk berebut kekuasaan, wajib mulai dari diri sendiri masing-masing selaras makna adiluhur yang terkandung di dalam hadits Jihad Al-Nafs Al Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al Shadiq bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menyambut pasukan sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, beliau bersabda, "Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!".

Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW menjawab, "Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri!".

*) Penulis adalah seniman dan budayawan, pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan


Oleh Jaya Suprana *
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017