Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian telah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk memenuhi kebutuhan sektor industri smelter sebanyak 1.200 orang sejak tahun 2015 hingga 2017.

Tenaga kerja tersebut merupakan lulusan Politeknik Industri Logam Morowali, Akademi Komunitas Industri Logam Bantaeng, dan Politeknik Akademi Teknik Industri Makassar.

"Upaya ini merupakan salah satu wujud pelaksanaan pendidikan vokasi industri yang diinisiasi oleh Kemenperin dengan konsep berbasis kompetensi serta link and match dengan industri," kata Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) I Gusti Putu Suryawirawan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu.

Putu, melalui keterangan tertulis, mengatakan bahwa tujuan Kemenperin untuk berkerjasama dengan industri dalam membentuk lembaga pendidikan vokasi tersebut, antara lain menciptakan tenaga kerja industri tingkat ahli muda (D-II) dan ahli madya (D-III) di bidang industri logam untuk Kawasan Timur Indonesia.

Selanjutnya, memberdayakan SDM di sekitar kawasan industri untuk menjadi tenaga kerja kompeten yang sesuai kebutuhan di lapangan, serta mendukung investasi industri melalui penyediaan tenaga kerja industri yang kompeten.

Seperti diketahui, sebanyak 13 ribu tenaga kerja di kawasan industri Morowali, sekitar 2.000 di antaranya berasal dari Tiongkok. Jumlah itu belum mencakup pekerja tidak tetap atau bekerja sementara yang hanya beberapa pekan atau bulan kemudian pulang ke negaranya. Kedatangan mereka berkaitan dengan penggunaan teknologi yang dibawa perusahaan dari negara asalnya.

Pengendalian penggunaan tenaga kerja asing (TKA) telah diatur dalam Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya. Selain itu, UU itu menegaskan, dalam mempekerjakan TKA, pemberi kerja wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia (TKI) sebagai pendamping.

Namun demikian, Putu mengatakan, sekalipun Indonesia terbuka dalam penggunaan TKA, pemerintah tetap berupaya melindungi pekerja lokal melalui implementasi peraturan dengan syarat dan kualifikasi ketat bagi TKA.

"Mereka hanya sementara saat pembangunan proyek dan commissioning saja. TKA tersebut melakukan proses alih teknologi dan keterampilan kepada tenaga kerja lokal," ungkapnya.

Putu mencontohkan, di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), skema komposisi penggunaan TKA dan TKI sebesar 55:45 pada tahap engineering, procurement and construction (EPC).

Kemudian, menginjak tahun ketiga produksi, jumlah TKA berkurang menjadi 25 persen dan jumlah TKI meningkat menjadi 75 persen. Hingga menginjak tahun ke-5 produksi, jumlah TKA berkurang menjadi 15 persen dan jumlah TKI meningkat menjadi 85 persen.

CEO IMIP, Alexander Barus, mengatakan, kawasan industrinya siap menampung SDM lokal. Dia berharap agar proyek penguatan SDM yang digalakkan pemerintah berjalan lancar.

"Jika sumber daya lokal sudah siap kerja sesuai kebutuhan di industri, maka tentunya kami akan mengoptimalkan penggunaan pekerja lokal," tegasnya.

Sementara itu, Putu menyampaikan, Indonesia menargetkan mampu memproduksi nikel sebanyak empat juta ton pada tahun 2020 atau berkontribusi sebesar 10 persen untuk memenuhi kebutuhan dunia sebanyak 40 juta ton per tahun.

"Kami optimistis, karena Indonesia memiliki 32 titik proyek pemurnian dan pengolahan nikel yang tersebar di beberapa kawasan industri, antara lain di Konawe, Kolaka, Pulau Obi, Halmahera dan Morowali," sebutnya.

Saat ini, pemasok terbanyak nikel untuk kebtuhan dunia adalahTiongkok yang juga sebagai pengimpor ore maupun bahan setengah jadi dari negara lain, termasuk Indonesia.

Di kawasan Indonesia Timur, menurut Putu, tengah difokuskan pengembangan industri berbasis smelter khususnya berbasis bijih nikel dan stainless steel. Salah satunya, Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah.

Kawasan ini memiliki lahan seluas 2.000 hektar yang ditargetkan akan menarik investasi sebesar USD6 miliar atau setara Rp78 triliun, serta menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 20 ribu orang dan tidak langsung sekitar 80 ribu orang.

Kemudian, Kawasan Industri Bantaeng memiliki luas 3.000 hektare yang diperkirakan akan menarik investasi sebesar USD 5 miliar atau setara Rp 55 triliun, dengan Harbour Group bertindak sebagai investor.

Sedangkan, untuk Kawasan Industri Konawe, diprediksi akan menarik investasi sebanyak Rp 28 triliun. Bertindak sebagai anchor industry di kawasan ini adalah Virtue Dragon Nickel Industry, dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 18 ribu orang.

"Berkembangnya industri smelter di dalam negeri, selain mampu mendorong perekonomian nasional, diharapkan juga dapat memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat sekitar," tutur Putu.

Untuk itu, diperlukan kemitraan strategis di antara pemangku kepentingan guna membawa kemajuan bersama. "Interaksi ini mulai dari para pelaku industri, tenaga kerja hingga pemerintah," imbuhnya.

Menurut Putu, langkah hilirisasi juga merupakan implementasi dari UU Nomor 3/2014 tentang Perindustrian, yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41/2015 tentang Sumber Daya Industri.

Dalam peraturan tersebut, diatur mengenai pemanfaatan sumber daya alam secara efisien,ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Selanjutnya, pelarangan atau pembatasan ekspor sumber daya alam dalam rangka peningkatan nilai tambah Industri guna pendalaman dan penguatan struktur industri dalam negeri, serta jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri dalam negeri. 

Pewarta: Try Reza Essra
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017