Pontianak (ANTARA News) - Anggota DPR RI Komisi XI dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, Michael Jeno mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena selama ini potensi yang ada belum digarap dengan maksimal.

"Saat ini PNBP masih kecil kontribusinya terhadap pemasukan negara, yaitu hanya sekitar Rp250 triliun. Dengan demikian PNBP kita masih di bawah pajak yang menyumbang 70 persen pendapatan negara. Padahal dalam kajian yang ada, potensi PNBP ini bisa sampai Rp400 triliun. Tentu butuh kerja keras," ujarnya di Pontianak, Jumat.

Selama ini dijelaskan Jeno dari PBNP yang ada sebesar 61 persen berasal dari sektor minyak dan gas. Sedangkan 10 persen didapat dari dividen BUMN.

"Kalau melihat besarnya angka Migas dalam PNBP tentu mengkhawatirkan. Apalagi saat ini harga minyak dunia sedang turun dan produksinya tak sebesar dahulu. Kalau tidak ada perubahan komposisi, tentu sulit berharap PNBP kita bisa meningkat," katanya.

Lanjutnya untuk dividen dari perusahaan-perusahaan BUMN juga tidak terlalu bagus. Bahkan BUMN banyak yang merugi tahun ini.

"Jadi dari berbagai hal yang potensial untuk dioptimalkan untuk PNBP adalah dari perusahaan-perusahaan pengelola sumber daya alam. Kami juga sebenarnya sudah mengusulkan untuk mengoptimalkan pendapatan pajak dan nonpajak dari perusahaan SDA yang besar," jelasnya.

Untuk memaksimalkan PNBP, Komisi XI sendiri menurut Jeno sebenarnya tengah menyusun daftar rancangan Undang-Undang (RUU)nya, yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) pada 2017.

"Dalm RUU dibahas soal penentuan tarif pendapatan negara bukan pajak dari STNK, SIM dan dan lain-lainnya, termasuk pendapatan dari perusahaan pengelola SDA. RUU PNBP sudah 30 persen berjalan," kata dia.

Sementara untuk produk UU lainnya di bawah kewenangan Komisi XI, juga telah menggulirkan dua Rencana Undang-Undang lagi terkait penguatan ekonomi.

"RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan RRU tentang Perbankan. Dua itu yang utama. Kemudian ada RUU BI, RUU OJK, tapi yang direct langsung adalah Undang-Undang Perpajakan dan perbankan itu," kata dia.

Kedua aturan yang rencananya akan diupayakan untuk segera dibahas sebelum tutup tahun ini, kata Jeno dinilai penting, salah satunya sebagai tindak lanjut UU tax amnesty. Misalnya seperti UU Perbankan, dimana salah satu fokus poin pembahasannya terkait penerapan sistem Automatic Exchange Of Informastiaon (AEOI), atau pertukaran data nasabah secara terbuka usai periode masa tax amnesty berakhir, tanggal 31 Maret 2017.

"Dengan adanya Undang-Undang terbut semua data nasabah atau wajib pajak yang menyimpan dananya di bank manapun di dunia secara terbuka akan terbaca. Begitupun bagi pengemplang pajak dipastikan tidak bisa lari dari kewajibannya membayar pajak. "Jadi tidak bisa sembunyi lagi," sebut Jeno.

Jeno memaparkan, secara teknis, tim Panitia Kerja (Panja) kedua RUU ini sudah bekerja. Revisi diperlukan untuk mengikuti perkembangan aktivitas ekonomi masyarakat serta mewujudkan sasaran pembangunan sektor keuangan untuk meningkatkan kapasitas fiskal negara dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.

"Demi mencapai sasaran pembangunan tersebut maka diperlukan langkah-langkah seperti penguatan kualitas sumber daya manusia dan kelembagaan perpajakan serta ekstensifikasi dan intensifikasi pengumpulan pajak terutama pajak penghasilan," katanya.

(U.KR-DDI/N005)

Pewarta: Dedi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017