Sydney (ANTARA News) - Keputusan Papua Nugini untuk segera memindahkan ratusan orang yang ditahan di sebuah pusat penahanan yang dikelola Australia ke kota terdekat memungkinkan para pengungsi itu terpapar kekerasan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Hal itu disampaikan oleh kelompok hak asasi manusia dan pencari suaka, Selasa. Petugas imigrasi Papua Nugini mengatakan kepada pencari suaka pada Senin bahwa pusat penahanan Pulau Manus yang kontroversial di utara daratan Papua Nugini akan ditutup pada 28 Mei, dan sisa dari kompleks itu akan ditutup pada 30 Juni.

Mereka yang berhak untuk dimukimkan kembali di Amerika Serikat, di bawah sebuah kesepakatan yang oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump digambarkan sebagai "bodoh", akan ditempatkan dalam beberapa minggu di kota Lorengau di pulau itu, yang berada di daerah terpencil Laut Bismarck.

Sekitar 905 pria yang ditahan di Pulau Manus sudah diizinkan untuk melakukan perjalanan ke Lorengau pada siang hari tapi hampir semua memilih tetap berada di pusat penahanan di tengah tuduhan penyerangan dan ancaman terhadap mereka oleh warga.

"Kami khawatir orang-orang ini dipindahkan ke suatu tempat dengan risiko keamanan yang lebih tinggi daripada Pulau Manus dan yang memiliki fasilitas yang tidak memadai untuk menangani orang yang membutuhkan perawatan kesehatan, "kata Kate Schuetze, peneliti Pasifik untuk Amnesty International.

Pejabat Papua Nugini tidak bisa dihubungi dengan segera untuk berkomentar

Relokasi tahanan dilakukan saat Papua Nugini bersiap untuk menutup pusat penahanan itu pada akhir Oktober saat kontak dari operator kamp Ferrovial berakhir.

Kamp tersebut didirikan pada 2013, saat Australia mendanai dua pusat penahanan negara di kawasn terpencil Pasifik untuk menahan pencari suaka yang tiba dengan kapal tanpa batas waktu

Pulau Manus dan sebuah pusat penahanan di Nauru telah menuai kecaman dari organisasi hak asasi manusia karena kondisi fasilitas yang sempit, fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan terjadinya kekerasan.

Sementara mereka yang akan direlokasi mengatakan ketakutan mereka dengan kemajuan tanda-tanda untuk pindah ke Amerika Serikat, mereka yang tidak memenuhi syarat untuk pemukiman kembali mengatakan bahwa langkah itu menunjukkan komitmen Papua Nugini untuk mendeportasi pencari suaka yang gagal.

Reuters melaporkan awal tahun ini bahwa puluhan pencari suaka telah menerima dana hingga 20.000 dolar Australia untuk kembali ke tanah airnya, eksodus terbesar dalam empat tahun.

Namun, jumlah tahanan yang memilih pulang ke tanah airnya turun tajam dalam beberapa pekan terakhir, dengan hanya dua orang yang menerima insentif Australia untuk pergi dengan sukarela, menurut sumber yang mengetahui kamp tersebut kepada Reuters.

"Mereka yang tidak memenuhi syarat untuk pemukiman kembali telah berusaha untuk membaca situasi, untuk mengerti apakah mereka akan dideportasi. Akan ada beberapa orang yang tidak melihat pilihan lain kecuali menerima tawara uang pemukiman kembali," kata seorang pejabat Australia, yang menolak untuk diidentifikasi karena dia tidak berwenang untuk berbicara dengan media, demikian Reuters.

(G003/M016)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017