Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sekretaris Jenderal DPR RI Achmad Djuned sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik/KTP-E).

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus (AA)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin.

Achmad Djuned sudah mendatangi gedung KPK pada pukul 10.35 WIB untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi.

Selain memeriksa Achmad Djuned, KPK dijadwalkan akan memeriksa enam saksi lainnya juga untuk tersangka Andi Agustinus.

Enam saksi itu yang direncanakan diperiksa itu, yakni Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrullah, Kasubbag Sistem dan Prosedur Ditjen Dukcapil Kemendagri Endah Lestari, dan Direktur PT Sisnet Mitra Sejahtera Adres Ginting.

Selanjutnya, mantan Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan Pembinaan/Pembuatan/Pengembangan Sistem, Data, Statistik dan Informasi dan Kegiayan Pembiayaan Lain-Lain Badan Pertanahan Nasional RI Tahun 2009 Nurhadi Putra, dan dua orang dari pihak swasta masing-masing Melyanawati dan Karmadjaya Karsono.


Baca juga: (Pengacara Elza Syarief diperiksa KPK)

Baca juga: (KPK periksa Miryam Haryani)


Dalam dakwaan perkara KTP-e disebutkan Andi Agustinus alias Andi Narogong membentuk tiga konsorsium yaitu konsorsium Percetakan Negara Indonesia, konsorsium Astapraphia, dan konsorsium Murakabi Sejahtera.

Seluruh konsorsium itu sudah dibentuk Andi Narogong sejak awal untuk memenangkan Konsorsium Percetakan Nasional Indonesia untuk dengan total anggaran Rp5,95 triliun dan mengakibatkan kerugian negara Rp2,314 triliun.

Selain itu juga terdapat empat anggota konsorsium PNRI pada proyek pengadaan paket KTP-e tersebut, yaitu PNRI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra.

Dalam dakwaan juga disebut beberapa anggota tim Fatmawati, yaitu Jimmy Iskandar Tedjasusila, alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan menerima masing-masing sejumlah Rp60 juta terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut.

Diketahui juga dalam proses lelang dan pengadaan itu diatur oleh Irman, Sugiharto dan diinisiasi oleh Andi Agustinus yang membentuk tim Fatmawati yang melakukan sejumlah pertemuan di ruko Fatmawati milik Andi Agustinus.

Dalam dakwaan perkara KTP-e itu juga disebut bahwa mantan Mendagri Gamawan Fauzi menerima sejumlah 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta dan mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini menerima sejumlah 2,7 juta dolar AS dan Rp22,5 juta.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017