Rudy alias Rudeng mengambil dua gayung lumpur dari salah satu mesin penggilingan batu lalu menyaringnya dengan kain parasut warna biru tua.

Tidak sampai 10 menit, dia tersenyum sebab saat menyaring dia menemukan butiran emas yang terpisah dari lumpur. Butiran sebesar biji kacang hijau itu lalu dicuci dengan air.

Lumpur yang disaring Rudeng bukan sembarang lumpur, melainkan berasal dari bebatuan area tambang emas di Desa Lebong Tambang, Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Lebong, Bengkulu.

Untuk memisahkan emas dari lumpur, Rudeng mencampurnya dengan mercuri lalu digiling selama 24 jam sebelum disaring.

Pada Selasa (17/5) sore, Rudeng sedikit beruntung karena emas sebesar biji kacang hijau itu dibeli langsung oleh seorang pengunjung yang mampir ke tempat pengolahan emas.

"Gini saja, bagaimana kalau Rp50 ribu," kata Rudeng saat tawar menawar dengan seorang pengunjung. Rudeng mengatakan untuk memastikan kandungan emas itu masih harus diuji dulu sebab selain emas, bisa saja ada perak bahkan bisa jadi peraknya lebih banyak dibanding emas.

Dia mengatakan harga emas yang dihasilkan tempat pengolahan sangat tergantung kadar emasnya dan biasanya yang mengukur adalah pedagang.

Hasil sebutir emas bukan satu-satunya bagi Rudeng hari itu, karena pada siang harinya dia juga telah menyaring emas dan hasilnya telah dijual kepada perajin emas. Namun dia enggan menjelaskan berapa butiran emas yang berhasil di dapat hari itu.

"Masih ada sisa lumpur di tabung. Bisa untuk dua sampai tiga kali penyaringan lagi. Hari ini sudah sore, saya mau pulang," katanya yang telah menggeluti pengolahan emas satu tahun terakhir ini.

Untuk mendapatkan butiran emas, bukan dengan cara yang mudah sebab penambang harus masuk ke lubang berkedalaman hingga belasan meter, bahkan ada yang ratusan meter. Badan penuh lumpur saat keluar dari lubang adalah hal yang biasa bagi para penambang.


Baca juga: (Presiden minta penggunaan merkuri di tambang rakyat dihentikan)

Baca juga: (BPPT rancang reaktor pengolah emas non-merkuri)


Lubang yang dibuat ada yang lurus horisontal, namun ada yang tegak vertikal, baik ke atas atau ke bawah. Para penambang menggunakan tangga bambu atau kayu untuk mengambil bebatuan. Ancaman batu longsor hingga kehabisan oksigen karena masuk jauh di lubang bumi menghantui setiap hari.

Batu dari dalam lubang kemudian dibawa ke tempat pengolahan emas milik warga yang umumnya berada di belakang atau samping rumah.

Batu kemudian ditumbuk di tempat pengolahan dengan mesih penumbuk yang digerakkan listrik. Setelah halus, serbuk batu dicampur air lalu digiling dengan mesin penggilangan selama 24 jam dengan dicampuri merkuri untuk mengikat emas.

Lokasi pengolahan emas Rudeng hanya sekitar 150 meter dari bukit yang merupakan lokasi penambangan. Bahkan tangga naik masuk ke dalam lubang terlihat jelas dari tempat Rudeng mengolah emas.

Pertambangan di Desa Lebong Tambang pada Selasa (17/5) dikunjungi sekitar 200 siswa dari berbagai daerah di Indonesia yang mengikuti acara Lawatan Sejarah Nasional yang digelar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tambang ini menjadi salah satu lokasi lawatan selain beberapa lokasi lain di Bengkulu.

Para peserta diajak mengunjungi tambang emas di Kabupaten Lebong karena sebagian besar emas yang kini bertengger di puncak Tugu Monumen Nasional (Monas), Jakarta, berasal dari Lebong.

Monas yang mulai dibangun pada 17 Agustus 1961 dan selesai pada 12 Juli 1975 memiliki 38 kg emas yang melapisi puncaknya. Sebanyak 28 kg dari 38 kg emas itu merupakan sumbangan dari Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang dikenal kaya pada saat itu.

Pada 1995 yang bertepatan dengan 50 tahun Indonesia merdeka, emas di puncak Monas ditambah lagi sehingga mencapai berat 50 kilogram.

Meski tambang emas yang dikunjungi di wilayah Kecamatan Lebong Utara, sedangkan emas Monas berasal Kecamatan Lebong Selatan, namun tambang itu masih dalam satu rangkaian perbukitan.

Selama di lokasi penambang, sebagian peserta lawatan ikut masuk ke dalam lubang kendati cuma beberapa meter, namun sebagian mencoba masuk ke terowongan bercabang kendati tidak sampai ke titik penggalian batu.

Sejumlah mobil bak terbuka dan sepeda beberapa kali melintas mengangkut batu yang mengandung emas. Bahkan, ada yang memanggul karung berisi pecahan batu dengan berjalan kaki.

Ny Sumiyati, warga Desa Lebong Tambang yang suaminya juga menjadi penambang emas, mengatakan harga batu juga tergantung pada kandungan emas. Satu karung batu dihargai Rp50 ribu sampai Rp150 ribu, bahkan ada yang cuma laku Rp30 ribu karena kandungan emas yang minim.

Aktivitas penambangan emas di Lebong bukan hanya terjadi akhir-akhir ini atau awal masa kemerdekaan Indonesia, tapi ada sejak penjajahan Belanda.

Di Desa Lebong Tambang masih ada beberapa lubang tambang yang ada sejak zaman penjajahan Belanda.

Kandungan emas emas di Lebong pula yang menjadikan ketertarikan Belanda untuk mendirikan kota di daerah Muara Aman.

Salah satu lubang tambang yang kini juga menjadi objek wisata adalah lubang "kaca mata" karena berbentuk kaca mata. Untuk masuk ke dalam, pengunjung bisa melalui anak tangga yang dibuat dari semen.

Warga Lokal
Jika para penambang emas tradisional umumnya berasal dari luar daerah, namun penambang emas di Kabuaten Lebong justru didominasi warga lokal.

Sebagian besar warga desa menggantungkan hidupnya dengan menambang emas. Ada juga warga hanya menjual bongkahan batu ke pemilik pengolahan emas sebab alat pengolahnya mencapai Rp60 juta yang dirasa mahal oleh sebagian penambang, sedangkan bertani menjadi pekerjaan sampingan.

Camat Lebong Utara Sailillah mengatakan jumlah penambang yang terdata di wilayahnya sekitar 450 orang yang semuanya warga setempat.

"Kalau ada warga luar Kabupaten Lebong yang jadi penambang, biasanya sudah menjadi warga sini, misalnya karena menikah dengan warga sini. Penambang dari luar daerah tidak ada," katanya.

Bahkan, para perajin emas yang mengolah butiran emas menjadi barang siap jual juga berasal dari warga lokal.

Saililah mengatakan penambangan emas di wilayahnya memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan tambang emas tradisional, antara lain jarang ada kecelakaan yang mengakibatkan meninggal dunia, kandungan emas lebih tinggi dan dekat dengan perumahan.

Para penambang, kata dia, menghindari masuk ke dalam lubang tambang jika terjadi hujan terus menerus karena rawan longsor.

"Kalau ada yang kecelakaan, paling hanya luka atau patah tulang," katanya.

Perebutan lahan atau lubang tambang juga tidak pernah terjadi sebab masing-masing penambang tidak mau masuk ke lubang yang bukan miliknya. Para penambang seakan sudah ada aturan tidak tertulis untuk tidak mengambil batu dari lubang milik orang lain.

Kini pemerintah setempat menjadikan lokasi tambang rakyat di Desa Lebong Tambang menjadi salah satu objek wisata sejarah kendati belum banyak sarana pendukung di tempat itu.

Yang menjadi jualan objek wisata itu adalah sejarah emas Monas yang berasal dari Kabupaten Lebong dan lubang tambang "kaca mata".

Oleh Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017