Jakarta (ANTARA News) - Dwina Michaella yang merupakan anak dari Ketua DPR Setya Novanto tidak memenuhi panggilan KPK untuk menjadi saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik).

"Dwina Michaella, mantan komisaris PT Murakabi Sejahtera rencananya diperiksa sebagai saksi AA (Andi Agustinus) tapi sampai sore ini penyidik belum memperoleh konfirmasi terkait ketidakhadirannya, akan dilakukan pemanggilan kembali," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat.

Murakabi adalah perusahaan yang memimpin konsorsium Murakabi Sejahtera yang terdiri atas PT Murakabi, PT Java Trade, PT Aria Multi Graphia, PT Stacopa. Namun konsorsium Murakabi tidak memenangkan tender KPT-E.

"Dalam kasus KTP-E terhadap Dwina Michaella direncanakan didalami posisi saksi di perusahaan PT. Murakabi. Penyidik menemukan adanya sejumlah pihak yang menjabat di PT. Murakabi yang memiliki hubungan keluarga dengan pihak lain di kasus ini," tambah Febri.

Keterangannya juga dibutuhkan untuk menguraikan fakta indikasi pengaturan tender KTP-E melalui Tim Fatmawati.

"KPK masih terus mendalami bukti-bukti yang ada untuk kepentingan pengembangan perkara terkait dengan indikasi keterlibatan pihak lain. Termasuk pihak yang memiliki kaitan antara kasus indikasi pemberian keterangan tidak benar di pengadilan dengan tersangka MSH (Miryam S Haryani) ataupun kasus KTP-E. Sehingga beberapa saksi selain diperiksa dalam kasus KTP-E juga diperiksa dalam kasus dengan tersangka MSH," jelas Febri.

Dalam dua dakwaan terdakwa kasus ini, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto, disebutkan bahwa Setya Novanto mengatur penganggaran proyek ini di DPR melalui orang dekatnya Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Pertemuan pembahasan KTP-E itu dilangsungkan di hotel Gran Melia yang dihadiri Irman, Sugiharto, Andi Agustinus, Sekjen Kemendagri saat itu Diah Anggraini dan Setnov. Dalam pertemuan itu Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP-E.

Guna mendapat kepastian Setnov, beberapa hari kemudian Irman dan Andi Agustinus kembali menemui Setnov di ruang kerjanya di lantai 12 DPR. Dalam pertemuan itu, Setnov menyatakan akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya.

Pada Juli-Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan Rencana APBN 2011, Andi Agustinus beberapa kali bertemu Setnov, Anas Urbaningrum, Nazaruddin karena dianggap representasi Partai Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui KTP-E.

Setelah beberapa kali pertemuan DPR menyetujui anggaran KTP-E dengan rencana besar tahun 2010 senilai Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya akan dikawal fraksi Partai Demokrat dan Golkar dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri.

Kesepakatan pembagian anggarannya adalah

1. 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek

2. Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada:

a. Beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar

b. Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261 miliar

c. Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar

d. Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp574,2 miliar

e. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp783 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017