Di balik kemewahan perpisahan sekolah-sekolah di Banjarmasin ada cerita perpisahan salah satu sekolah madrasah di Banjarmasin yang tidak kalah "indah" dan "mewah" dibanding sekolah-sekolah lainnya.

"Indah" , karena dibalik segala kekurangan biaya, para guru berjuang, bahu membahu untuk bisa menyelenggarakan perpisahan sekolah.

Sekolah itu sebelumnya dari kayu nyaris ambruk namun kini telah dibangun kembali dengan beton atas bantuan seorang pengusaha. Sekolah swasta itu tidak memungut biaya pendidikan sepeserpun, 

Sejak empat tahun terakhir, sekolah yang sebagian besar siswanya berasal dari masyarakat kurang mampu menyelenggarakan perpisahan dengan mengundang pihak luar, antara lain para kepala-kepala sekolah di sekitar daerah tersebut, perwakilan Kemenag, dinas pendidikan dan para orangtua.

Mayoritas orangtua siswabersedia urunan Rp10 ribu per orang.

"Dari uang tersebut, Rp6 ribu dimanfaatkan untuk membeli makanan ringan untuk suguhan tamu dan para siswa kelas empat, lima, enam, sedangkan untuk siswa kelas satu sampai tiga diliburkan untuk menghemat biaya," kata Qurota Ayunin, salah seorang guru.

Dana yang masih tersisa digunakan untuk membuat nasi kotak yang dimasak oleh para guru secara gotong royong, menyewa peralatan, dan untuk kelengkapan siswa yang lulus.

"Yang penting anak-anak kami bisa perpisahan seperti anak-anak di sekolah lain, walaupun dengan sangat sederhana," katanya.

Seperti layaknya sekolah lain, acara perpisahan diisi dengan menampilkan kreatifitas siswa, antara lain tari-tarian, musik panting, juga penyerahan kenang-kenangan dari para siswa untuk sekolah.

Pada penyerahan kenang-kenangan, siswa yang ditunjuk, maju bersama kepala sekolah, untuk menyerahkan kotak kenang-kenangan di hadapan undangan dan orangtua murid.

Setelah mendapatkan tepuk tangan meriah, kepala sekolah pun menyerahkan kotak kenang-kenangan, yang terbungkus kertas warna coklat tersebut, kepada salah seorang guru untuk disimpan, hingga akhirnya perpisahan pun diakhiri dengan bersalaman seluruh siswa kelas enam dengan para guru, diiringi lagu terimakasih guruku.

Disebut kotak kenang-kenangan, bukan kotak hadiah, karena kotak yang terbungkus indah tersebut, memang benar-benar kotak kenangan, yang selalu diterima secara berulang oleh kepala sekolah sejak empat tahun terakhir, walaupun diserahkan oleh para siswa angkatan yang berbeda.

Awalnya, pada tahun pertama kotak tersebut digunakan, para guru menyediakan untuk "mematutkan diri" di hadapan para undangan, bahwa dibalik keterbatasan, para siswa juga masih menyediakan kenang-kenangan.

Pada tahun kedua, upacara perpisahan juga kembali diselenggarakan, karena waktu itu, para guru tidak sempat memikirkan kotak kenang-kenangan baru, akhirnya kotak kenangan lama, yang ternyata masih tergeletak di lemari guru, kembali diambil untuk dilapisi dengan bungkus sehingga terlihat baru, begitu juga dengan tahun ketiga.

"Kami tidak sengaja menyimpan kotak tersebut, tetapi karena tidak ada isinya atau kosong, setiap kali habis menerima kenang-kenangan, kotak tersebut langsung dilempar ke atas lemari," tambahnya.

Hingga akhirnya, perpisahan tahun ke empat, Rabu (24/5), para guru asyik menyiapkan konsumsi acara, sehingga lupa kembali menyiapkan kotak hadiah perpisahan dari siswa. Karena bingung, beberapa guru pun kembali melihat kotak yang sejak tiga tahun terakhir selalu diterima oleh kepala sekolah.

Kotak yang penuh debu tersebut kembali dibersihkan, dan dilapisi dengan bungkus baru, sehingga kembali terlihat indah.

Saat guru membungkus kotak tersebut, kepala sekolah Aina Spd, lewat dan melihat sang guru sedang membungkus kotak yang sama dengan tiga tahun sebelumnya. "Hah kotak itu lagi," serunya. Kemudian dia melanjutkan pembicaraan, "Jangan sampai kotak itu menjadi keramat," katanya sambil tertawa.

Mungkin, kotak kosong kenang-kenangan itu, tidaklah bermakna apa-apa bagi para guru sekolah tersebut. Namun sebenarnya, kotak tersebut mencerminkan keiklasan dan perjuangan para guru sesungguhnya, yang masih memegang nilai-nilai luhur tentang pendidikan.

Sebuah nilai yang tidak hanya diukur oleh angka-angka atau rupiah, atau mungkin benda-benda mewah dan gemerlap lainnya, tetapi nilai kehidupan yang sesungguhnya, tentang kasih sayang, rasa empati dan harapan tentang masa depan yang lebih baik bagi para siswanya.

Bukan hanya saat perpisahan, para guru yang rela digaji seadanya itu, bahkan akan mencari siswanya yang tidak masuk sekolah, sampai ke rumah agar mereka tetap sekolah.

Bahkan tidak jarang, dengan gaji yang pas-pasan, para guru harus iuran untuk membantu siswa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Oleh Ulul Maskuriah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017