Semarang (ANTARA News) - "Teng-tengan", lampion mainan anak-anak khas Semarang yang identik dengan bulan Ramadan tetap digemari seiring kemajuan zaman yang menawarkan beraneka mainan modern.

Junarso (48), perajin teng-tengan di Semarang, Rabu, lampion tersebut sudah menjadi kerajinan yang mendarah daging di kalangan keluarganya sejak 1942 hingga sekarang.

"Keluarga saya sudah turun temurun membuat teng-tengan. Dulunya, buyut-buyut saya, kemudian diteruskan bapak saya. Sekarang, saya meneruskan tradisi membuat teng-tengan," katanya.

Lampion yang di tengahnya diberi lilin itu memiliki bentuk prisma yang dihiasi dengan kertas berbentuk berbagai gambar sehingga akan membentuk bayangan berputar ketika lilin dinyalakan.

Di rumah sederhananya di Kampung Purwosari Perbalan, Semarang Utara, bapak tiga anak itu membuat kerajinan khas itu dibantu beberapa rekannya untuk menambah penghasilan di bulan Ramadan.

Diakuinya, teng-tengan yang dikenal juga dengan nama "Dian Kurung" itu memang hanya dibuatnya selama momentum Ramadhan, sementara sehari-hari dirinya bekerja sebagai pengayuh becak.

"Kalau dulu, teng-tengan ini dijual keliling kampung. Biasanya, sama anak-anak sini. Namun, kadang ada pesanan dari luar kota, seperti Yogyakarta, Surabaya, hingga Bandung," katanya.

Untuk satu buah teng-tengan bikinannya, Junarso biasa menjualnya sebesar Rp15 ribu, tetapi kalau sudah di tangan penjual eceran bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi.

"Sehari, ya, paling saya bisa buat 20-25 teng-tengan. Lumayan bisa menambah rezeki di bulan Ramadan. Apalagi, kalau pas ada pesanan skala besar dari luar kota," katanya.

Sementara itu, sesepuh warga Purwosari Perbalan, Tunut Sofani mengakui sejarahnya lampion itu untuk penerangan rumah warga karena dulu kawasan tersebut masih gelap dan belum teraliri listrik.

"Saat bulan Ramadhan, warga sini kalau ke musala kan gelap. Akhirnya, ada yang namanya Mbah Saman yang berinisiatif membuat lampion ini. Bisa ditempel, bisa di bawa kalau ke musholla," katanya.

Seiring perkembangan zaman, lampion tersebut dikembangkan menjadi berbagai bentuk sampai ada yang dihias seperti sekarang dan tetap bertahan meski sekarang ini permintaan tidak seintens dulu.

"Nama asalnya Dian Kurung. Dian itu artinya lampu, kurung itu kurungan (sangkar, red.). Jadi, lampu yang dikurung. Kami berharap lampion khas ini bisa terus lestari," katanya. 

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017