Jakarta (ANTARA News) - Lingkungan geopolitik di Laut China Selatan bergerak ke tahap baru, tidak hanya melibatkan para pihak yang bersengketa atas kedaulatan di kawasan ini, tetapi juga sejumlah negara besar yang merasa memiliki kepentingan.

Pihak-pihak yang bersengketa dengan klaim sebagai pemilik sah seluruh atau sebagian kedaulatan di kawasan ini ialah China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Taiwan.

Beijing mengaku memiliki "hak kesejarahan" dan mempunyai ambisi untuk mengendalikan lebih 80 persen dari Laut China Selatan.

Namun negara itu mendapat tantangan dari Amerika Serikat yang menghendaki "kebebasan navigasi", sementara kekuatan-kekuatan lain di kawasan seperti Jepang, India dan Rusia mencari pengaruh yang lebih besar di Asia Tenggara.

China dan negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah membicarakan kode etik Laut China Selatan selama bertahun-tahun. Namun sayangnya apa yang para pihak lakukan masih belum menunjukkan hasil memuaskan.

Sebagai contoh dari ketiadaan kode etik dapat dilacak sejak 2012. Telah terjadi banyak perbenturan antara kapal dan pesawat militer China dan Jepang di sekitar kepulauan Laut China Timur yang berada di bawah pengawasan Tokyo tapi mendapat klaim Cina.

Di Laut China Selatan, pesawat angkatan laut dan penjaga pantai China kerap berhadapan dengan kapal dan pesawat negara-negara Asia Tenggara yang klaim teritorialnya bersinggungan dengan klaim Beijing.

Para pejabat AS dan negara-negara Asia lain telah sering mengedepankan masalah ketiadaan protokol bersama dalam mengatur komunikasi di tengah situasi tersebut.

Karena itu negara-negara di Pasifik Barat yang di dalamnya ada China, Amerika Serikat, Jepang dan Filipina misalnya menginginkan sebuah kesepakatan dibuat menyusul meningkatnya sengketa perairan dan udara di Laut China Selatan dan Timur.

ASEAN yang beberapa negara anggotanya termasuk para pihak yang mengklaim (claimants) kedaulatan di Laut China Selatan tersebut menempuh dan mengedepankan jalur-jalur diplomasi untuk menghindari konflik terbuka di kawasan ini.


Solusi Spesifik

Langkah yang ditempuh perhimpunan itu seperti tercermin dalam kesepakatan ASEAN-RRC tentang COC Framework. ASEAN dan RRC berhasil menyepakati Kerangka Tata Perilaku (COC Framework) di Laut China Selatan.

Kesepakatan tersebut dicapai pada pertemuan ke-14 para pejabat senior ASEAN-China mengenai implementasi dari Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (SOM on DOC) di Guiyang, China pada 18 Mei 2017.

Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri, Jose Tavares, menggarisbawahi bahwa momentum yang baik antara ASEAN-RRC dan kemajuan dalam implementasi DOC sejak beberapa waktu terakhir membantu percepatan penyelesaian COC Framework.

Lebih jauh Dirjen Jose Tavares juga menyampaikan bahwa framework ini akan disampaikan kepada menteri luar negeri ASEAN-China untuk mendapat pandangan dan persetujuan serta arahan ke depan.

Secara umum COC Framework yang disepakati terdiri atas mukadimah, tujuan, prinsip-prinsip umum, basic undertakings, dan final clauses.

Kesepakatan atas COC Framework ini merupakan suatu capaian penting ASEAN-RRC mengingat proses konsultasi COC telah dimulai sejak tahun 2013 dan mendapat momentum positif setelah pada pertengahan tahun 2016 para menteri luar negeri ASEAN-China memberikan mandat kepada pejabat tinggi untuk menyelesaikan COC Framework pada pertengahan tahun 2017.

Atas dorongan Indonesia dan berdasarkan draft yang disiapkan Indonesia, maka pembahasan substantif yang menghasilkan draft pertama COC Framework dilakukan pada pertemuan ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the DOC (JWG on DOC) di Bali, pada akhir Februari 2017.

Pertemuan Bali juga menyepakati suatu pendekatan (Bali Approach) yang telah meletakkan dasar yang kuat untuk upaya mempercepat pembahasan COC Framework tersebut. Pertemuan di Bali diikuti pertemuan JWG on DOC di Siem Reap, Kamboja, akhir Maret 2017, dan di Guiyang, China 17 Mei 2017.

ASEAN-China SOM on DOC dan JWG on DOC merupakan mekanisme di bawah pertemuan menteri luar negeri ASEAN dan RRC untuk membahas implementasi DOC secara efektif dan menyeluruh serta melakukan konsultasi dalam rangka penyusunan COC.

Para pengamat berpendapat China dengan pengaruh budaya, bahasa, ekonomi, perdagangan dikombinasikan dengan kekuatan militer ingin menunjukkan dominasi di Laut China Selatan sebagai batu loncatan untuk dominasi di tingkat global.

Tak sedikit yang berpandangan bahwa apa yang diperlihatkan oleh China di kawasan ini adalah tindakan arogansi dengan menerapkan "neo-kolonialisme di laut" dan tak mematuhi hukum internasional.

Secara sepihak misalnya, China membangun pulau-pulau buatan di kawasan yang dicurigai untuk tujuan-tujuan militer dan memperkuat kemampuan militernya guna mencegah gangguan dari luar, dan sebagai akibatnya menimbulkan perlombaan senjata.

Strategi yang digunakan Beijing dalam menyelesaikan sengketa di kawasan ini antara lain, ialah China ingin bernegosiasi dan menyelesaikan dengan masing-masing negara, tidak ingin campur tangan dari luar.

Namun, negara-negara besar berusaha mencegah cara-cara yang ditempuh China untuk ekspansi.

Pendekatan dan cara pandang yang berbeda antara China dan AS beserta sekutunya dikhawatirkan mengganggu stabilitas dan perdamaian di kawasan.

Langkah yang sebenarnya ingin ditempuh oleh negara-negara di kawasan ialah mendorong kerja sama dengan melakukan penelitian ilmiah, perlindungan lingkungan laut, pencegahan bencana, SAR di laut, pencegahan pembajakan, perdagangan manusia dan migrasi ilegal dan konservasi keanekaragaman hayati.

Selain itu, menurut penilaian Mahkamah Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag (12/7/2016) pada kondisi untuk China-Filipina, dapat dianggap sebagai tonggak penting dalam upaya untuk memecahkan sengketa Laut China Selatan melalui cara-cara damai, sesuai dengan hukum internasional.

Mahkamah itu menyimpulkan bahwa China tidak memiliki "hak kesejarahan" atas perairan di Laut China Selatan dan tidak memiliki dasar hukum untuk membuat klaim tentang "hak kesejarahan" atas sumber daya alam di "sembilan-garis putus-putus".

Mahkamah juga menyimpulkan beberapa struktur tidak melekat pada Kepulauan Spratly dari Vietnam memberikan China hak untuk zona ekonomi eksklusif.

Adalah tanggung jawab semua bangsa dan negara baik yang ada di dalam atau di luar kawasan ini untuk mencegah konflik dan secara tulus membangun saling percaya satu sama demi stabilitas kawasan.

Dalam konteks ini tentu ASEAN harus lebih kuat, lebih bersatu dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan atas Laut China Selatan dengan China.

Filipina, Vietnam, Brunei dan Malaysia khususnya sebagai "claimants" tidak bisa sendiri dalam menghadapi China, karena masalah ini telah benar-benar menjadi masalah umum dari semua negara anggota ASEAN.

Oleh mohammad anthoni
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017