Di tengah kelangkaan dana untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan di Tanah Air, wacana pemilihan rektor perguruan tinggi negeri dengan melibatkan presiden kembali bergulir.

Diskursus pelibatan presiden dalam penentuan rektor itu diawali dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang mengatakan bahwa penentuan rektor perguruan tinggi negeri akan dikonsultasikan kepada presiden, tak lagi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Perubahan itu konon diakibatkan oleh munculnya kesadaran baru sekaligus keprihatinan terkait penyelenggaraan pendidikan dan penelitian ideologi Pancasila serta wawasan kebangsaan.

Semua calon rektor yang dipilih senat akademik yang kemudian ditentukan majelis wali amanat perguruan tinggi dengan salah satu pemegang suara terbanyak dipegang Menristek dan Dikti.

Perubahan yang diwacanakan adalah pembentukan tim penilai akhir yang dipimpin presiden. Tampaknya di titik inilah kekhawatiran terjadinya batu sandungan berupa politisasi terhadap lembaga akademik mulai muncul.

Secara politis dan nalar birokratis, Menristek dan Dikti adalah pihak terdepan dan paling punya kewenangan dan kesanggupan memahami pergumulan dunia perguruan tinggi.

Atas dasar itu pembentukan tim penilai akhir terkait dengan pemilihan rektor hanyalah perpanjangan tahap birokratis, yang membuka peluang masuknya kepentingan politis.

Tentu di tengah tantangan besar mengatasi persoalan kebangsaan, yang salah satu ancamannya adalah tercabiknya anyaman kebangsaan, maka menyerahkan masalah pemilihan rektor ke tangan presiden hanya menambah pekerjaan yang implikasi negatifnya jauh lebih besar ketimbang dampak positifnya.

Argumen bahwa tim penilai akhir yang dipimpin presiden itu penting untuk menghadang masuknya calon rektor yang berideologi anti-Pancasila agaknya menafikkan kesanggupan Menristek dan Dikti dalam menjalankan tugas politis itu.

Terlepas dari problem politis yang sesungguhnya bisa diatasi di tingkat senat perguruan tinggi itu, substansi persoalan riil perguruan tinggi saat ini adalah mencari sosok rektor yang profesional dalam mewujudkan impian kampus sebagai pusat keunggulan.

Seorang rektor yang paling dibutuhkan saat ini adalah administrator lembaga akademik yang sanggup menyinergikan keahliannya untuk berinovasi dalam mengoleksi dana bagi kepentingan riset dan pengembangan ilmu secara simultan.

Belum lama berselang, wacana yang muncul tentang perlunya mengimpor rektor dari luar negeri antara lain dipicu oleh kebutuhkan untuk mendapatkan rektor yang inovatif dalam memenuhi kebutuhan dana riset dan mengelolanya untuk mewujudkan perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan.

Dengan masuknya perbincangan tentang pembentukan tim penilai akhir yang dipimpin presiden dalam memilih rektor, kian pupuslah ide pencarian rektor dari kalangan profesional akademik dari luar negeri itu.

Mengupayakan terpenuhinya dana bagi riset di perguruan tinggi oleh rektor sesungguhnya bukan pekerjaan instan yang bisa dilakukan dalam hitungan tiga atau lima tahun. Selama ini, pemenuhan kebutuhan dana penyelenggaraan pendidikan tinggi, di samping dari anggaran pendapatan dan belanja negara, dikumpulkan dari dana yang disumbangkan peserta didik.

Berbagai program dan jalur seleksi mahasiswa baru dibuat dengan menciptakan peluang bagi kalangan berduit untuk diberi kesempatan belajar asalkan sanggup membayar sejumlah dana yang nominalnya di atas rata-rata sumbangan finansial mahasiswa yang diterima lewat jalur seleksi konvensional.

Pencarian dana lewat usaha profesional lain dari perguruan tinggi, sebagaimana dilakukan banyak perguruan tinggi di negeri-negeri yang sudah mapan, seperti menjual temuan sains hasil riset kepada industri, belum banyak, kalau bukan belum pernah, dilakukan perguruan tinggi di Tanah Air.

Di sinilah kunci pentingnya memilih rektor perguruan tinggi yang visioner, yang profesional dalam mengembangkan sains dan memanfaatkan hasil temuan itu sebagai salah satu sumber mendapatkan dana dari kalangan industri.

Jika tim penilai akhir yang dipimpin presiden kembali berkutat pada persoalan ideologis, yang menjadikan parameter ideologi politik sebagai ukuran paling menentukan dalam memilih rektor, profesionalitas yang mengacu pada kualifikasi rektor yang inovatif dalam mengembangkan sains dan mendatangkan dana riset lewat hasil temuannya akan terpinggirkan.

Di sinilah munculnya kecemasan sejumlah kalangan akademis tentang melemahnya semangat otonomi dalam pemilihan rektor perguruan tinggi dan kian menguatnya semangat politisasi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi.

Karena pernyataan Mendagri itu baru sebatas wacana, yang dimunculkan di kala ancaman terhadap keutuhan visi berbangsa dan ancaman tercabiknya rasa kebangsaan mulai menggejala, tampaknya masih ada waktu untuk mengkaji kembali sisi positif-negatif pernyataan itu.

Tanpa membentuk tim penilai akhir pun, Presiden bisa memberikan arahan pada Menristek dan Dikti tentang parameter penentuan rektor perguruan tinggi dalam konteks politik mutakhir. Tentu arahan presiden itu dilakukan setelah dia melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan yang memiliki keluasan dan kedalaman visi dalam perkara pengelolaan perguruan tinggi yang profesional dan inovatif.

Dalam konteks kompetisi kualitas perguruan tinggi di tataran global, hanya ada satu jalan untuk memungkinkan perguruan tinggi di Tanah Air ikut dalam pacuan kompetisi global itu yakni menjadikan parameter keunggulan profesional akademik dalam memilih pemimpin kampus, yang berambisi menjadikan institusinya sebagai pusat keunggulan.

Rektor yang berkualitas demikian tentu tak akan membuang-buang waktunya yang berharga untuk terdistraksi demi berpikir dan bertindak politis, apalagi dengan tujuan yang tidak populer seperti merongrong nilai-nilai Pancasila, yang telah disepakati oleh semua elemen bangsa menjadi dasar bernegara.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017