Jakarta (ANTARA News) - Iklan rokok masih bebas ditayangkan di media penyiaran Indonesia meskipun dibatasi hanya diperbolehkan pukul 21.30 hingga 05.00 dan tidak boleh menampilkan produk rokok dan aktivitas merokok.

Isu tentang iklan rokok menjadi salah satu hal krusial dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurut naskah RUU yang disusun Komisi I DPR, iklan rokok akan dilarang sama sekali di media penyiaran.

Pelarangan total itu mendapat reaksi negatif dari para pelaku industri penyiaran, termasuk sejumlah anggota DPR sendiri, terutama para pendukung dan pengusul Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang juga menjadi kontroversi.

Mereka menginginkan iklan rokok hanya dibatasi sebagaimana diatur pada Undang-Undang sebelumnya. Salah satu anggota DPR bahkan menilai bahwa pelarangan iklan rokok total bertentangan dengan aturan lain.

Saat ini, naskah RUU tersebut sedang dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR. Para pegiat pengendalian tembakau berharap harmonisasi di Baleg tidak mementahkan larangan iklan rokok sebagaimana naskah yang disusun Komisi I.

Salah satu pihak yang selama ini aktif memantau perkembangan pembahasan adalah Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP). Koalisi ini terdiri atas akademisi, mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerhati penyiaran.

KNRP termasuk yang bersuara lantang mendukung pelarangan total iklan rokok sebagaimana naskah RUU yang disusun Komisi I. Salah satu pegiat KNRP yang aktif bersuara tentang iklan rokok adalah Nina Muthmainah.

Dosen Universitas Indonesia itu menilai merupakan sebuah kemunduran bila Undang-Undang Penyiaran yang akan direvisi masih hanya membatasi iklan rokok. Pasalnya, di lingkungan negara-negara Asia Tenggara saja, hanya tinggal Indonesia yang masih memperbolehkan iklan rokok di media penyiaran.

"Itu menunjukkan perundang-undangan di Indonesia belum berpihak pada publik. Iklan televisi itu paling berpengaruh terhadap anak-anak dan remaja," kata mantan komisioner KPI itu.

Tidak hanya di Asia Tenggara, menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2013, terdapat 144 negara di dunia yang sudah melarang iklan rokok di media penyiaran.

Nina mengatakan, dari 144 negara yang sudah melarang iklan rokok itu, terdapat beberapa negara yang secara politik bermasalah. Namun, di tengah permasalahan politik yang terjadi di negaranya, pemerintah masih tetap berkomitmen melindungi warga negaranya dari bahaya rokok.

Karena itu, untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok, sudah seharusnya lembaga penyiaran di Indonesia sama sekali tidak menayangkan iklan rokok.

Apalagi, pelarangan memunculkan produk dan perilaku merokok justru membuat iklan rokok menjadi menyesatkan karena menutupi fakta yang sebenarnya dari rokok.

"Iklan rokok yang ada saat ini justru memunculkan citra bahwa merokok itu adalah perilaku yang normal, lazim dan keren. Bertolak belakang dari fakta bahwa rokok adalah produk yang berbahaya," tuturnya.

Bahaya Rokok
Di tengah paparan iklan rokok yang sangat masif di media penyiaran, iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok justru masih sangat minim.

Padahal, stasiun televisi mendapatkan uang dari iklan rokok yang sangat besar. Sudah seharusnya stasiun televisi juga memiliki rasa tanggung jawab untuk menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok.

Menurut Nina, rokok menempati posisi kelima untuk belanja iklan di televisi. Pada 2016, total belanja iklan rokok di televisi mencapai Rp6,3 triliun.

Selama kuartal I 2016 saja, ada satu merek rokok yang memiliki tayangan iklan mencapai 13.049 penayangan untuk iklan spot 30 detik.

"Nilainya berbeda-beda, tetapi nilai iklan spot 30 detik untuk satu merek itu saja mencapai Rp46 juta per spot. Sebanyak 13.049 penayangan berarti satu merek itu memiliki belanja iklan Rp611 miliar," katanya.

Namun, alih-alih menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokok secara gratis, stasiun televisi ternyata tetap mengharuskan iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok untuk membayar.

Hal itu terjadi pada iklan layanan masyarakat yang dibuat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Kementerian Kesehatan.

"Padahal stasiun televisi bisa saja menyiarkan iklan layanan masyarakat secara gratis atau membuat sendiri iklan tentang bahaya merokok," tuturnya.

Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dr Prijo Sidipratomo SpRAD mengakui pemasangan iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok masih sulit dilakukan, tidak sebanding dengan iklan rokok yang banyak bertebaran di berbagai media.

"Untuk memasang iklan layanan masyarakat di media tidak mudah. Perlu perjuangan untuk meyakinkan pengambil kebijakan karena kita bersaing dengan iklan komersial," katanya.

Prijo mengatakan memang ada beberapa pihak yang memberikan slot gratis untuk iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok yang merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan.

Namun, ada juga beberapa pihak yang tetap mengharuskan iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok membayar sebagaimana iklan komersial.

"Misalnya iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok yang ditayangkan di televisi, kami mendapatkan bantuan dari Kementerian Kesehatan. Jadi menggunakan anggaran Kementerian. Kalau kami sendiri, banyak televisi yang masih menerapkan slot iklan komersial," tuturnya.

Menurut Prijo, di tengah terpaan iklan rokok yang saat ini sangat banyak dan cukup bebas meskipun dibatasi, media seharusnya bisa bersikap berimbang dengan memberikan kemudahan ruang bagi penayangan iklan bahaya merokok.

Salah satu pihak yang selama ini cukup konsisten menampilkan iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok adalah PT TransJakarta. Beberapa unit bus TransJakarta, dihiasi dengan iklan tentang bahaya merokok.

"Sejak 2012, PT TransJakarta secara konsisten memberikan ruang bagi iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokok," kata Prijo.

Atas konsistensi tersebut, Komisi Nasional Pengendalian Tembakau memberikan Penghargaan Pengendalian Tembakau kepada PT TransJakarta. Penghargaan diberikan bersamaan dengan peluncuran iklan "Ngerokok Cuma Bakar Uang" di Balai Kota Jakarta, Selasa (6/6).

Direktur Utama PT TransJakarta Budi Kaliwono menyambut baik iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok yang terpasang pada bus TransJakarta. PT TransJakarta sangat setuju dan mendukung kampanye pengendalian tembakau.

"Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jakarta harus bisa keluar dari garis kemiskinan. Kalau rokok cuma membuat kita bertambah miskin mengapa harus merokok?" katanya.

Iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok telah terpasang pada 21 unit bus TransJakarta dengan berbagai rancangan. Iklan "Ngerokok Cuma Bakar Uang" menampilkan gambar dompet kosong.

Rancangan lainnya menggambarkan batang rokok yang dipatahkan dengan kalimat "Harga Kebutuhan Melambung, Lebih Baik Uang Ditabung", gambar anak-anak bermain dengan kalimat "Rokok Dimatikan, Anak-Anak Bermain Riang" dan gambar gulungan uang di dalam kemasan rokok dengan kalimat "Kenapa Rokok? Kenapa Bukan Bahan Pokok?".

Iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokok juga terpasang pada bus TransJakarta khusus penumpang perempuan dengan menghadirkan gambar-gambar perempuan dengan kalimat "Merokok Membuat Perempuan Keriput 10-20 Tahun Lebih Cepat", "Siap Melamarku? Berhenti Merokok Dulu Ya" dan "Merokok Bukan Cara Buktikan Kekuatan Perempuan".

Oleh Dewanto Samodro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017