Jakarta (ANTARA News) - Tepat 1 Juni 2017 lalu, majalah remaja pria Hai menerbitkan edisi cetak terakhir mereka, yang dengan tegas menempel dua pernyataan penting di sampulnya yakni "Last Print Issue" alias pengumuman sebagai edisi cetak terakhir dan "We Need More Space" sebagai jawab singkat atas keputusan yang pastinya akan menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan pembaca mereka, terutama pembaca di era media cetak masih berjaya.

Terbitnya edisi cetak terakhir mereka merupakan keputusan untuk sepenuhnya berkonsentrasi menjangkau ceruk pembaca mereka, lewat platform daring di laman hai.grid.co.id.

Awal pekan kemarin, Senin (5/6), ANTARA News berkesempatan berbincang-bincang dengan kru yang kini mengampu Hai masa transisi penguatan sebagai media daring remaja pria, termasuk Didi Kaspi Kasim yang ditunjuk sebagai Acting Editor in Chief.

Selain, Didi, lima reporter Hai yakni Rahadian Sidik, Rizki Ramadhan, Fadli Adzani, Agassi Moriand dan Alvin Baharserta Tiara Tri Hapsari selaku Marketing & Communication turut terlibat dalam sesi tanya jawab dengan ANTARA News.

Berikut adalah petikan tanya jawab mengenai kesan mereka sejak masih di luar Hai, bergabung, hingga mengampu tugas sebagai entitas yang mengenakan baju dengan material berbeda serta pesan mereka terhadap lintas generasi pembaca majalah yang tahun ini memasuki usia kepala empat tersebut.


Bagaimana kalian melihat Hai saat masih di luar, kemudian bergabung dan sekarang menjadi pengampu Hai platform baru?

Didi (D): Gramedia majalah sebagai holding company, semua orang-orang yang ngejalanin ini, semua lulusnya dari Hai semua. Jadi kebayang lah orang-orang ini dilihatin sama siapa. Semua seniornya adalah anak Hai.

Rian (R): Kalau gua dulu pertama kali beli Hai tuh di Indomaret, covernya Nicholas Saputra tahun 2004. 

D: (Tertawa terbahak) Lo nyari band keren tapi tiba-tiba lo beli pas covernya Nichola Saputra. Berarti value lo ada di Nicholas Saputra. 

R: Karena headline-nya ada cara ngedeketin cewek selama tujuh hari gitu. Kok ada ya majalah kayak gini gua gak kebayang gitu kan. Pas akhirnya masuk Hai nanya sama yang bikin artikelnya, mau aja lo gue tipu-tipuin, tapi itu berkesan banget buat gue.
Gua ngeliat Hai dulu itu cowok gaul, keren, ngehe, tapi pinter. Kalau sosoknya itu macem Mas Boy gitu lah. Bandel-bandel cowok cuman tetap bertanggung jawab. Jadi Hai itu gaul, sedikit ngehe, tapi bertanggung jawab sama sekolahnya, lesnya, sama ceweknya.
Begitu masuk, pas gua masuk gua beruntung masih ngerasain Firdaus Fadli, gua denger-denger dulu sampe ke Brasil nih ketemu Sepultura, ternyata pas ketemu orangnya ancur-ancur aja. Gua bangga lah bisa kerja sama orang-orang yang dahsyat. Karena waktu itu kita kan masih majalah mingguan, jadi setiap minggu rapat redaksi setiap Senin nyari apa nih buat diterbitin dua minggu kemudian. Ini basi gak ye kalau pas terbit. 
Misalnya sekarang lagi Afi, bahas apanya yang gak basi dua minggu lagi. Makanya gua pas dari rapat udah pusing, kepikiran kayaknya udah basi deh ini kalo pas terbit, itu sih pas di era cetak. 
Cuma memang pas ke sini gua ngeliat. Kerasa banget beratnya ngejalanin mingguan, dan waktu gua awal mula di Hai itu ngerjain megang rubrik sekolah, pusing banget, pulang malem terus. 
Nah, cuma di satu sisi ada mulai peralihan digital, jadi mulai ada bukan dipecah sih ada tim yg mulai ngurusin print dan cetak. Kayak Alvin misalnya, dia sejak masuk udah di digital, jadi kita juga banyak belajar dari Alvin. Gua liat Hai sebenernya cukup tanggap untuk melihat tren digital nih, cuman waktu itu mungkin masih ragu aja, cuman sekarang Mas Didi-nya juga udah yakin ya udah sikat.
Nah setelah gua masuk ke dalam Hai, Hai itu harus selalu seperti itu, selalu membuat setiap remaja atau anak muda ngerasa terbantu lah. Kayak gue tercerahkan cara ngedeketin cewek itu di headline majalah, cuman mungkin kita membantu milenial yang lain lewat artikel online, konten sosial media kita, video kita, apapun itu lah. 
Jadi menurut gua semangatnya nggak berubah, tapi platformnya aja. Dulu kita makan pakai kertas nasi, sekarang kita makan pakai piring stainless steel gitu lah.


Secara gak langsung tetep mempertahankan imej yang lo temuin di luar?
R: Imej gak ada yang berubah, platform doang yang berubah.

D: Irisannya sama kok Mas, ketika jaman saya dulu juga ... waktu tahun 2000 ini it's a dream job, buat kita, buat gua, temen-temen gua nggak tahu, irisan brand kita yang memang laki banget dan temen banget.
Media sekarang kan jarang yang bisa ngejadiin kita temen. Pola komunikasi sekarang juga tetep pola komunikasi temen, gak ada diksi KBBI-nya, udah lo ngomong sama anak muda gimana sih. Ya itu lah. Rasanya kalau brand appreciation gak jauh antara Hai yang pertama hingga Hai yang sekarang.
Mungkin Yaya yang cewek sendiri ada komentar?

Tiara (Y): Pertama kali baca itu SMP, karena kakak kan juga cowok, dia anak band juga, curi-curi baca. Dia juga suka lihat-lihat kord-kord di belakang itu, iseng-iseng baca gitu lah.
Ya emang kelihatannya majalah cowok banget sih, yang dilihat gak ada sisi wanitanya. Tapi ternyata pas masuk ke sini, ya, gak juga. 
Ternyata mereka mengulik-ulik soal perempuan juga tapi dengan menampilkan, misalkan cewek Hai, jadi mereka tetep harus ulik dari sisi ceweknya dulu kemudian diambil jadi sisi cowoknya. Oh ternyata gak semaskulin itu, tapi ketika diangkat hebatnya bisa semaskulin itu.


Ceruk pembaca kan remaja yang dinamis, bagaimana trik tim komunikasi hadapi anak muda?

Y: Sabar. Harus sabar. Karena mereka gak bisa dikasih informasi cuma sekali. Karena ketika cuma sekali dan setengah-setengah, mereka akan bukan cuma cabut, tapi dia mengasumsikan itu menjadi sesuatu yang berbeda.
Misalkan kita mau ngasih tau A to Z, tapi karena dia cuma baca A to B jadi ya udah itu yang diasumsikan berita itu A to B aja.

D: Perilaku anak-anak sekarang, bukan cuma anak-anak sih, tapi pengguna sosmed kita kan judgemental. Mudah sekali menghakimi.

Agassi (Ag): Keyboard warriors!

R: Komentar dulu baru baca. Atau komentar aja gak usah baca. 

Y: Atau baca judul dan subjudul terus langsung narik kesimpulan sendiri.

D: Itu bagian dari misinya Hai untuk mengedukasi pintar ber-sosmed, pintar membaca situasi, pintar berkomen. Sama-sama lah, tugasnya Yaya itu menerjemahkan itu ke dalam tone & manner sosmed Hai ketika bicara. Nggak jalan mulus juga, it's a bumpy road, ya itu pelajarannya di situ. Ini lah lapangan belajar bersama. 
Enaknya gitu kalau digital kan, kalau di print harus nunggu baru bisa ralat


Ubah gaya penulisan gak sih?

R: Yang jelas untuk menyampaikan informasi gak melulu lewat tulisan, bisa lewat video atau foto. Bisa video di instagram, bahkan di instagram sekalipun milenial menganggapnya ya berita dan informasi. Kadang-kadang baca caption juga malas langsung komen dulu.
Nah kalau misalnya bagaimana kita mengubah atau tidak, yang pasti kita menyesuaikan ada perubahan, sebisa mungkin kita tidak mau terlalu kaku atau saklek, harus ada tulisan panjang misalnya. Mungkin bisa ada tulisan panjang tapi di dalemnya kita selipin infografis.
Tapi yang jelas ketika di awal artikel biasanya supaya untuk itu, kalau jurnalistik jaman saya kuliah dulu ada kedalaman artikel intinya ada di bawah, sekarang sebisa mungkin info intinya sebelum orang bisa nge-judge ada di atas dulu. Justru sekarang yang diperkaya info recehnya.

Alvin (Av): Ya, ini sebenernya bahasa majalah sama online kan beda. Kalau majalah judul lima kata juga cukup, sedangkan kalau di online kalau gak to the point dan gak jelas orang kadang-kadang gak di-klik apaan sih, kalau sekarang harus to the point. Sering sih kita bikin judul kayak lagi ngobrol sama orang, malah kayak caption medsos. Itu lebih pas buat anak muda. 

Ag: Informasi kayak gitu gak harus melulu teks, kita bisa nampilin foto satu terus teks kecil itu bisa jadi berita buat Hai. Misal tawuran, kita pasang foto terus kasih tau di Bekasi ada tawuran tiga orang mati. Itu bisa diterima dan disebar lebih cepat di generasi muda.

D: Challenge-nya juga adalah bagaimana bisa menyampaikan isu hari ini kepada pembacanya Hai. Misalnya korupsi e-KTP sekarang, bagaimana temen-temen muda itu mengerti duduk perkaranya, tanpa harus baca koran Kompas. 
Nah itu bentuk inspirasi yang temen-temen Hai, selain ngomongin yang receh tadi, harus ada value yang disampaikan. Menurut gua kita sebagai media harus ada fungsi, memberikan informasi yang benar. Mudahnya menginspirasi tapi ngomongnya lo-lo gue-gue. Itu PR buat temen-temen di Hai sekarang sih, bagaimana menjaga current issues agar menjadi hot topic anak muda.


Sekarang tinggal reporter tinggal berlima?

D: Tinggal berlima dan akan nambah sih. Bisa jadi gak semua di Jakarta. Kita ingin ada di daerah-daerah. Lima orang di online itu cukup sih for a start.


Pesan terakhir buat pembaca Hai dari late baby boomers, Generation X, sampai ke Millenials?

D: Yang pasti mohon dukungannya. Bentuk kekecewaan di facebook di sosial media dll soal #RIPHai itu sangat tidak menolong untuk Hai sih. 
Karena pada kenyataannya bukan itu yang kami lakukan, dan coba kita lihat gambarnya yang lebih besar, bahwa memang ini saatnya kita shifting ke platform yang lebih besar, karena printing itu sudah terlalu sempit buat Hai. 40 tahun lebih kita ada di platform itu, cukup lah ya. Creativity kita sudah gak cukup...platform itu udah gak bisa nampung kami lagi. Dengan semua ketersediaan informasi yang ada hari ini. Gerak, suara, kemudian kecepatan waktu, kami memang udah harus pindah. 
Dan untuk mengurusi dua platform, mungkin print akan tetep ada, tapi bukan menjadi reguler. Tapi kita akan mengayomi audiens kita di platform digital kita, yang bisa menyediakan begitu banyak pilihan bagi pembacanya.
Tapi, terima kasih atas dukungannya untuk temen-temen yang mendukung kami selama 40 tahun terakhir. Tone-nya jelas sih buat kami, we simply need more space.

Y: Semoga Hai yang di digital ini bisa menemani masa-masa remaja anak-anak milenial sekarang yang gak banyak baca cetak, tapi baca digital jadi bisa menemani mereka 24/7. Terus bisa jadi legend juga lah buat mereka kalau misalnya mereka udah se-Mas Didi dkk. Semoga.

D: Gue pernah 40, lo belum 40, ati-ati loh.

Fadli (F): Saya harap situsnya Hai Online sekarang dapat menjadi se-cult majalahnya dulu. Se-cult ketika dulu Hai jadi barometer anak2 muda dalam pengen tau musik dan lain-lain, ya saya harap Hai Online akan seperti itu ke depannya. 

R: Sama sih semangatnya sama temen-temen yang udah dibilang tadi. Intinya kalau sekarang Hai full digital, sekarang kita bisa konsisten tetep melakukan apa yang dilakukan 40 tahun lalu memberikan banyak hal dan menjadi teman terbaik buat remaja. Dari sekarang sampai lima, 15, 20 tahun lagi ya Hai akan terus beradaptasi terus sih. 
Jadi kalau menurut gua Hai akan berubah lagi ya emang harus gitu, jangan kaget, Hai-nya tetap ada cuma orang-orang dan platformnya aja beda. Dan semoga di digital ini makin banyak faeddahnya lah buat milenial lah. Jadi suatu saat mungkin lima atau 10 tahun lagi mereka udah kerja jadi bos gitu, bisa ada semacem "oh lu kerja di hai? gua dulu baca hai." 
Nah gua pengen tuh di era digital ada nostalgia kayak gitu juga. Jadi dulu gua nulis artikel buat lo juga, tapi udah digital.

Kiram (K): Hai itu cuma lulus dari satu media doang tapi akan tumbuh menjadi 1000 konten yang lebih keren dan bakal tetep menjadi temennya anak muda dan bakal menyuguhkan informasi yang berfaedah.

Av: Hai sebenernya masih ada. Jadi yang di sosmed itu mungkin banyak yang belom tau kalau cuma majalahnya doang yang gak terbit lagi, dan itu cuma reguler doang yang gak ada. 
Dengan semua terjun ke digital gua harap sih bisa lebih mantep lagi digitalnya. Kalau dulu sehari mungkin cuma 10-an konten, mungkin sekarang bisa 20 atau 30. Ya ke depannya banyak produk lain selain digital sih. Intinya gua harap Hai bakal selalu ada sih.

Ag: Intinya sih biar temen-temen yang di luar gak bilang bahwa Hai udah RIP, cuma sebenernya brand-nya ada kita cuma pindah platform aja. Kayak dari awal temen-temen bilang Hai dari awal itu jadi temennya remaja, apapun platformnya, mau sosmednya, digitalnya, di manapun kita tetep jadi temen-temen remaja.

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017