Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan impor garam diminta tidak mengorbankan jerih payah petambak di berbagai daerah, kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim.

"Impor garam mencerminkan minusnya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan petambak garam di Indonesia," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dia mengingatkan bahwa pengendalian impor komoditas garam sudah tertuang dalam UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Menurut dia, cuaca dan iklim merupakan faktor penting dalam produksi garam domestik di berbagai daerah sehingga pemerintah harus benar-benar hadir untuk bisa mengatasi tantangan produksi garam tersebut.

Sebelumnya Achmad Boediono yang merupakan Dirut PT Garam (Persero) telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, tindakan tersangka itu melanggar Peraturan Menteri Perdagangan 125 tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam.

Dalam regulasi tersebut jelas tertuang bahwa importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain.

"Dampaknya sekitar tiga juta petambak garam, baik laki-laki dan perempuan menjadi semakin sulit bersaing di pasar nasional dan semakin terpuruk," kata Susan.

Dia mengungkapkan, padahal permasalahan substansi yang dihadapi petambak garam Indonesia sendiri sangat banyak, antara lain minimnya sarana dan prasarana di tambak garam.

Kemudian, buruknya akses air bersih dan sanitasi di tambak garam, serta minimnya intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam tersebut.

Selain itu, permasalahan lainnya adalah besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam, serta rendahnya harga garam.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017