Tingkat kesadaran publik tentang bahaya kekerasan verbal terhadap kejiwaan anak-anak lewat media hiburan, seperti sinema, baik yang di layar lebar maupun yang di layar kaca, semakin meninggi.

Pilihan diksi yang dinilai dapat mempengaruhi kejiwaan pemirsa, terutama anak-anak, menjadi pertimbangan para penulis naskah atau skenario.

Syukurlah kesadaran itu juga dipahami oleh para orang tua sehingga anak-anak tak dibiasakan mendengar kata-kata yang kurang baik bagi perkembangan jiwa mereka.

Yang menarik, ada gejala yang cukup kuat untuk meniadakan kata-kata yang berkaitan dengan makna menghilangkan nyawa manusia, seperti verba "membunuh", "membantai", "menghabisi", "menumpas", dan semacamnya.

Adapun pengganti untuk menyatakan makna kata-kata yang dihindari itu antara lain "melenyapkan".

Cobalah anda menyaksikan sinetron-sinetron yang diimpor dari India dan Turki, yang ditayangkan di beberapa stasiun swasta dan diadaptasi dengan sulih suara berbahasa Indonesia.

Semua kata yang bermakna menghilangkan nyawa manusia denga kekerasan dirujuk pada kata "melenyapkan". Barangkali menurut logika penulis teks sulih suara, penggunaan verba metaforik itu dapat mengurangi unsur kekerasan verbal dalam tayangan bersangkutan.

Yang menjadi persoalan bukan penggantian kata dalam konteks hiburan massal itu. Sebab, apapun kata yang akan digunakan, sejauh ruh sinema itu mengandung unsur kekerasan, sejauh itu pula, sinema yang ditujukan untuk konsumsi publik itu tak punya nilai edukasi yang standar.

Sinetron serial itu pada umumnya berbasis pada drama bertema gado-gado, ada cerita cinta, kesetiaan keluarga tapi juga pengkhianatan dan dendam, yang otomatis mengandung unsur-unsur yang berbau kekerasan jasmani dan verbal.

Tuntutan panjang serial yang kadang bisa memakan waktu tayang hingga setahun lebih, dengan jumlah episode lebih dari hitungan hari dalam setahun, menjadikan cerita atau lakon itu berkelok-kelok ke sisi-sisi gelap seperti tema kekerasan.

Pada titik inilah tayangan hiburan massa dalam bentuk sinetron serial tak bisa mengelak dari unsur-unsur beraroma kekerasan. Bumbu cerita berupa darah dan air mata mengakibatkan tontonan itu tak pantas disaksikan oleh anak-anak.

Masalahnya, tak semua keluarga menyalakan pesawat televisi mereka di kamar-kamar pribadi yang jauh dari jangkauan perhatian anak-anak. Rata-rata mereka menyaksikan tayangan beraroma kekerasan itu di ruang keluarga sehingga anak-anak pun ikut menyaksikannya.

Kadang terasa artifisial pemberian kode-kode tayangan seperti BO yang singkatan dari Bimbingan Orang Tua, yang diwajibkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu. Secara praktis, tak mungkin orang tua memberikan bimbingan pada saat film itu sedang dinikmati. Jika bimbingan itu diberikan setelah tayangan usai, anak-anak dan orang tua sudah tak punya perhatian kepada film yang telah ditontonnya.

KPI tak terlalu keliru dengan memberikan aturan itu. Setidaknya, kode-kode itu bisa menjadi panduan bagi orang tua. Masalahnya hanya tidak praktis dan realitistis saja. Akan lebih afdol sebenarnya jika film-film yang tak layak dikonsumsi anak-anak, tempat penayangannya bukan di kanal televisi publik.

Tayangan semacam itu sebaiknya ditempatkan di saluran televisi berbayar, atau di gedung-gedung bioskop, yang lebih efektif dalam seleksi target pemirsanya.

Pengurangan dampak psikis dengan mengganti verba-verba yang beraroma kekerasan dengan verba metaforik seperti "melenyapkan" tentu bukan jalan yang bijak. Sebab, pada akhirnya anak-anak pun akan mendapat pemahaman lewat pembiasaan bahwa "melenyapkan" itu sama dan sebangun dengan membunuh alias menghabisi nyawa manusia.

Tentu hampir mustahil menghasilkan sebuah karya sinematografis yang menawan tanpa anasir kekerasan sama sekali. Bahkan film "Life is Beautiful" yang elok dan estetis itu punya latar kisah kekerasan. Bedanya dengan kebanyakan cerita murahan lain: dalam film arahan Roberto Benigni itu, unsur kekerasan mengambil latar perang dunia, yang bukan kekerasan harian.

Menonton kisah kekerasan yang bukan kekerasan harian akan memberikan jarak bagi penonton dalam melakukan penghayatan terhadap karya seni yang ditontonnya. Anak-anak atau remaja tak dengan mudahnya mengikuti laku protagonis atau antagonis dalam menyikapi fenomena kekerasan.

Itu beda dengan dampak tayangan kekerasan yang berbasis kekerasan sehari-hari. Pemirsa dengan gampangnya termakan untuk terpengaruh karena tak ada jarak dengan pengalaman keseharian pemirsa.

Solusi lain yang lebih canggih adalah melahirkan film-film yang bumbu utamanya adalah perjuangan meraih sukses. Kisah nyata yang dijadikan basis penciptaan film drama "Lion" antara lain bisa menjadi patokan sutradara dalam menghasilkan tontonan hiburan untuk orang banyak, termasuk anak-anak.

Dalam film itu, kekerasan yang mencuat dari tema film adalah kekerasan yang terlahir dari struktur kehidupan kota, yang tak secara kasar diwujudkan dalam bentuk aksi brutal manusia secara individual.

Di sana memang ada sejumlah aksi kekerasan secara sporadis, namun semua itu diungkapkan lewat anasir estetis yang tak menghasilkan gambar-gambar vulgar yang tak pantas ditonton oleh siapapun, apalagi anak-anak.

Kepedihan yang dirasakan oleh penonton saat menyaksikan sebuah film yang mengandung kegetiran kehidupan tak mesti dihasilkan oleh film-film kekerasan yang berbumbu air mata dan darah.

Jadi pada akhirnya, menghindari kekerasan verbal bisa ditempuh lewat strategi pemilihan teknik sinematografis, yang dalam jagat perfilman sudah dibuktikan oleh para sineas kelas dunia yang sadar betul akan dampak film pada kejiwaan pemirsanya.

Oleh M Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017