Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menolak konsep share responsibility (kewenangan bersama) karena hal itu bukan hanya bertentangan semangat reformasi tetapi juga melanggar Perundang-undangan termasuk Keputusan Presiden (Keppres) No 21 Tahun 2004.

Adanya kemandirian di lembaga Mahkamah Agung, kata Hakim Agung Suhadi, dalam diskusi terbatas di Jakarta, Selasa, merupakan buah dari semangat reformasi, karena itu Mahkamah Agung dan para hakim seluruh Indonesia mayoritas tidak sependapat adanya konsep kewenangan bersama antara MA dan lembaga Komisi Yudisial (KY) dalam melakukan fungsi peradilan bersama.

Menurut Suhadi, Kemandirian lembaga Mahkamah Agung, buah dari reformasi yang lama diperjuangkan oleh para ahli hukum dan kalangan reformasi. Hasilnya, adalah Undang- undang No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang memisahkan para hakim di bawah kontrol eksekutf atau Kementerian Kehakiman. Pemisahan itu dikuatkan dengan Keppres No 21 Tahun 2004 yang isinya memisahkan kewenagan kekuasaan kehakiman dari Pemerintah kepada Mahkamah Agung.

"Dengan demikian, jika ada konsep membuat share responsibility, bukan hanya tidak berdasar. Tetapi juga menabrak UU MA dan Keppres," kata Suhadi yang juga ketua Ikatan Hakim Seluruh Indonesia/Ikahi.

Diskusi terbatas yang diselenggarakan Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI), mengambil tema "Tepatkah Penerapan Share Responsibility Antara MA dan KY dalam Manajemen Hakim," dihadiri sejumlah tokoh seperti Mantan Ketua MA, Prof. Dr. Bagir Manan, Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Prof. Eman Suparman, Ketua Asosisiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Dr. Laksanto Utomo, dan Direktur Program Pasca Universitas Borobudur Prof. Dr. Faisal Santiago.

Tema tersebut menanggapi adanya draf Rancangan Undang-undang (RUU) tentang calon hakim yang ingin menurunkan usia pensiun hakim agung di bawah 70 tahun dan melakukan kocok ulang jabatan ketua hakim agung setiap lima tahun sekali.

Menurut Suhadi, draf RUU yang saat ini sedang digodok di DPR, menimbulkan keresahan sebagian besar hakim, karena seolah-olah lembaga Mahkamah Agung nantinya akan dikendalikan oleh KY. Komisi Yudisial itu, katanya, sesuai UU No 22 Tahun 2004 mempunyai tugas mengusulkan calon hakim agung ke DPR dan melakukan pengawasan prilaku para hakim agar lebih bermartabat.

Tugas itu saja belum sepenuhnya dilaksankan secara optimal, karenanya, jika ada draf RUU yang akan menambah tugas dan fungsi KY akan banyak menabrak Perundang-undangan yang ada, tegas Suhadi.

Sementara Prof. Dr. Eman Suparman mengatakan, adanya draf RUU calon Hakim itu tampaknya tidak terkait langsung dengan lembaga KY. "Saya tidak tahu jika ada orang-orang KY yang punya kepentingan lain, tetapi materi draf dalam RUU calon Hakim yang ingin memotong usia pensiun hakim agung lebih kepada keterbatasan anggaran pemerintah," katanya, seraya menambahkan, saat ini banyak calon guru besar yang ditunda lantaran adanya keterbatasan anggaran negara.

Sementara itu, Ketua APPTHI Dr. Laksanto Utomo dalam diskusi itu juga mengatakan, one rooof system atau satu atap yang dimiliki Mahkamah Agung sudah cukup baik. MA saat ini membawahi empat lembaga peradilan yakni Pengadian Umum, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Tugas dan fungsi MA melakukan pembinaan dan pengangkatan para hakim dari empat lembaga itu sehingga terlihat ada kemandirian dalam lembaga peradilan di Indonesia.

Salah satu filosofi mengapa MA harus one roof system, (satu atap) karena dimasa silam lembaga yudikatif tidak lebih dari corong atau kepanjangan tangan eksekutif. Guna membebaskan intervesni eksekutif, reformasi menuntut adanya pemisahan kekuasan yang nyata antara lembaga yudikatif dan eksekutif.

Oleh karenanya, kata Laksanto, indenpendensi lemabaga peradilan harus dijaga oleh semua pihak, karena MA adalah rumah kita bersama sebagai benteng pencari keadilan terakhir.

Jika MA perlu diperbaiki, katanya, mendorong agar MA lebih terbuka kepada masyarakat, kapan putusan dapat diambil, berapa lama suatu putusan dapat ditangani. Hal itu penting disampikan kepublik agar lembaga itu tidak terkesan elitis.

Laksanto secara rinci juga menyoroti soal rekruitment calon hakim yang dilaksanakaan oleh Mahkamah Agung dengan waktu sekitar dua tahun. "Saya menyarankan agar dibuat kurikulum yang melibatkan perguruan tinggi sehingga out-putnya para calon hakim akan mempunyai wawasan yang lebih luas dalam memutuskan masalah. Dengan adanya keterbukaan informasi, maka share responsibility tidak diperlukan lagi, " katanya.

Pewarta: Theo Yusuf Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017