Kehabisan bahan bakar minyak dalam perjalanan, terutama di ruas jalan tol, tentu bukan hal yang diinginkan setiap pengendara mobil.

Terlebih dalam kondisi mudik Lebaran, di mana kepadatan arus lalu lintas menjadi momok bagi sebagian pengendara yang khawatir mobilnya mogok di tengah jalan.

Tapi, kini pengendara mobil bisa sedikit bernafas lega, karena perusahaan di bidang energi terbesar di Indonesia, yaitu Pertamina, menyediakan layanan Satuan Tugas Bahan Bakar Minyak (Satgas BBM) yang siap memasok bahan bakar jika mobil mogok.

Para anggota Satgas BBM pun bisa dibilang "kebal hukum" dan punya hak istimewa.

Bagaimana tidak, saat undang-undang melarang pengendara sepeda motor menggunakan ruas jalan tol, Satgas BBM memiliki hak untuk masuk ke ruas tol, meski pun pada jarak yang terbatas.

Satgas BBM yang dibentuk dengan jumlah total 90 armada sepeda motor ini diperbolehkan memasuki ruas jalan tol untuk mengirim BBM kepada mereka yang membutuhkan.

Di titik peristirahatan kilometer 19 Tol Bekasi-Cikampek misalnya, ada satu armada sepeda motor dan dua personel Satgas BBM yang siap sedia mengirim bahan bakar di sekitar area tersebut selama 24 jam sejak 15 hingga 28 Juni.

Mereka ialah Deden dan Agri, dua pemuda asal Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, yang menjadi ujung tombak Pertamina mengemban tugas tersebut.

(Baca juga: Jonan coba motor Satgas BBM Pertamina)

Kerja Serabutan

Deden dan Agri, yang rumah keduanya hanya terpisah jarak sekitar 500 meter di daerah asalnya itu, mengaku melakoni pekerjaan tersebut hanya sementara.

Sehari-hari mereka berdua merupakan pekerja serabutan, apapun bisa dan mau mereka lakukan.

"Jika sedang di rumah, kami siap melakukan tugas dan pekerjaan apapun," ujar mereka kompak.

Baik Deden dan Agri, musim mudik sekarang merupakan tahun kedua mereka menjadi Satgas BBM, yang sebelumnya ditempatkan di jalur selatan sekitar Nagreg, Jawa Barat.

Namun, Deden yang lebih senior dibanding Agri, mengatakan bahwa pekerjaan musiman di saat Lebaran seperti ini sudah ditekuninya sejak 2008.

Sebelum menjadi Satgas BBM pertama kali pada 2016, Deden menjadi "sales" salah satu merek rokok terbesar di Indonesia, dengan waktu bekerja masih pada musim mudik.

Penghasilan yang mereka peroleh pun jika dibandingkan dengan pegawai kantoran Jakarta memang tidak seberapa, namun sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga di rumah.

Dengan waktu kerja pada 15-28 Juni, mereka memperoleh upah sekitar Rp3 juta, angka yang terbilang lumayan untuk pekerjaan sampingan yang dilakukan hanya dalam waktu 14 hari.

"Saat menjadi sales rokok di tahun-tahun sebelumnya pun jumlah penghasilan yang ia peroleh tidak berkisar jauh," ujar Deden.


Tugas Berbahaya


Sifat penugasan mereka yang bisa dibilang sebagai aksi bantuan, mendapat tanggapan positif dari pihak kepolisian.

Dengan adanya Satgas BBM, pengendara yang kehabisan bahan bakar bisa segera melanjutkan perjalanan dan tidak perlu berhenti terlalu lama di ruas tol.

Jangan kan mogok akibat kehabisan bahan bakar, jika ada kendaraan berhenti saja dapat memicu kemacetan di ruas tol, yang akan menambah beban penanganan oleh pihak kepolisian.

Meskipun pos yang mereka jaga di rest area km 19 tol Jakarta-Cikampek terbilang kecil dan sederhana jika dibandingkan dengan pos di rest area lain, mereka merasa tugas yang diemban cukup berbahaya.

Bagaimana tidak, dengan hak istimewa berkendara menggunakan sepeda motor di jalan tol, membuat mereka harus berpacu dengan kendaraan roda empat atau lebih dengan ukuran yang jauh lebih tinggi.

"Walau jarak berkendara di dalam ruas tol yang diperbolehkan tidak terlalu jauh, hal itu cukup membuat kami takut," ujar Agri mengungkapkan risiko pekerjaan yang mereka jalani tersebut.

Bahkan tidak jarang mereka harus melaju melawan arah baik untuk mengantar BBM atau kembali ke "rest area", tergantung di mana posisi kendaraan yang akan diisi berada.

Melawan arah di dalam tol jelas sangat berbahaya. Embusan angin dari arah samping atau angin dari kendaraan yang melaju di dekat mereka semakin meningkatkan bahaya personel Satgas BBM yang hanya dibekali perangkat keamanan standar berupa helm half-face dan rompi anti-angin yang dilengkapi lapisan pemantul sinar sebagai penanda di malam hari.

Ditambah lagi situasi ketika ada mobil yang menyalip dari kiri atau dari bahu jalan, jika itu terjadi tepat di depan mereka tak ayal mereka pun bisa menjadi korban.

"Yang tadinya menolong lalu menjadi yang ditolong merupakan keadaan yang tidak lucu sama sekali," kata mereka berdua dengan diselingi canda.

Walau tahu berbahaya, ketika mendapat panggilan radio dari pihak keamanan atau petugas rest area lainnya saat ada kendaraan yang kehabisan bahan bakar, mereka harus siap mengantar di manapun posisinya.

Dengan menggunakan sepeda motor bertransmisi matic 110 cc, lalu ditambah seperangkat boks berisi lima drum BBM yang masing-masing berkapasitas 10 liter di bagian belakang, sudah lebih dari cukup untuk menggoyahkan keseimbangan.

Akan tetapi, Deden mengaku jumlah dan volume drum yang dibawa jauh lebih baik daripada yang digunakan saat menjadi Satgas BBM tahun lalu.

Pada 2016, drum yang dibawa hanya berjumlah tiga buah, namun dengan ukuran yang lebih besar sehingga lebih tidak stabil jika diangkut dengan sepeda motor.

Walau tahu bahayanya, baik Deden dan Agri, tetap semangat dalam menjalankan tugasnya tersebut.

Bertugas siang-malam, tidur menumpang di pos keamanan, bukan masalah bagi mereka berdua yang ingin tetap bekerja secara halal meski tidak dapat berbagi kebahagiaan Lebaran dengan keluarga di rumah.

Tugas mereka mulia, bagaikan malaikat penolong, saat sesamanya menghadapi keadaan darurat. 

Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017