Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami proses awal pembahasan anggaran pengadaan KTP-elektronik (KTP-e) kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Banggar dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P).

"Untuk saksi Yasonna tadi datang pada pemeriksaan dan kami lakukan pendalaman tentu saja, materi-materi terkait dengan proses awal pembahasan anggaran misalnya terkait dengan kasus KTP-e," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.

Lebih lanjut, Febri menyatakan KPK juga mendalami beberapa hal kepada Yasonna dalam kasus KTP-e itu, misalnya beberapa informasi indikasi adanya aliran dana pada sejumlah pihak.

"Itu juga menjadi satu hal yang kami konfirmasi lebih jauh, beberapa informasi ini sebenarnya sudah juga dimunculkan dalam fakta persidangan kasus KTP-e," kata Febri.

Bahkan, kata Febri, dalam tuntutan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, KPK sudah menyampaikan secara rinci bukti-bukti apa yang mendukung terkait fakta yang dimunculkan dalam tuntutan tersebut.

"Kami sudah sampaikan secara rinci termasuk bukti-bukti apa yang mendukung fakta yang kami munculkan di tuntutan tersebut baik untuk dua orang yang menjadi terdakwa atau pun pihak-pihak lain yang diduga bersama-sama melakukan korupsi terkait pengadaan KTP-e tersebut," ucap Febri.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membantah menerima aliran dana 84 ribu dolar AS terkait pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).

"Tidak ada lah," kata Yasonna seusai diperiksa KPK sebagai saksi kasus KTP-e di gedung KPK, Jakarta, Senin.

Lebih lanjut, Yasonna menyatakan dalam pemeriksaan pada Senin dirinya dipanggil sebagai saksi mengenai kasus KTP-e untuk dua terdakwa Irman dan Sugiharto serta tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus KTP-e.

"Saya ditanya sebagai saksi. Datang sebagai saksi mengenai kasus KTP-e tentang Andi Narogong, Irman, dan Sugiharto," kata Yasonna.

Sebelumnya, Yasonna telah dua kali tidak hadir pemanggilan KPK sebagai saksi untuk Sugiharto.

Dalam pemanggilannya kali ini, Yasonna diperiksa sebagai saksi untuk Andi Narogong.

"Saya sebagai warga negara yang baik tentu harus hormati. Saya jelaskan juga kan sudah dua kali saya dipanggil. Pertama saya jelaskan saya ratas, yang kedua saya ke Hong Kong untuk kejar harta aset Bank Century," tuturnya.

Namun, ia enggan membeberkan lebih lanjut terkait materi pemeriksaan dirinya sebagai saksi untuk Andi Narogong kali ini.

"Saya sudah menjelaskan pada penyidik tentang pertanyaan yang diberikan kepada saya. Keterangan diri, pekerjaan sebagai anggota DPR dan banyak, saya lupa," ucap Yasonna.

Dalam dakwaan disebut bahwa Yasonna yang saat itu sebagai Wakil Ketua Banggar dari Fraksi PDI-P menerima 84 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun ini.

Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.

Irman sendiri sudah dituntut 7 tahun penjara sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golangan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sedangkan Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017