Jakarta (ANTARA News) - Sistem transportasi berbagi tumpangan (ridesharing) hadir di Indonesia tahun 2014. Berbagai aplikasi ridesharing, termasuk Uber, berkembang pesat.

Ridesharing telah diatur sejak tahun 2016 dengan Permenhub 32/2016. Kementerian Perhubungan resmi memberlakukan tarif batas atas dan batas bawah untuk taksi berbasis aplikasi mulai awal Juli sesuai dengan revisi Permenhub 26/2017.

Terkait dengan implementasi PM 26/2017 tersebut, dalam keterangan tertulisnya yang diterima ANTARA News, Rabu, Uber mengisyaratkan keberatannya.

"Kami mengapresiasi langkah pemerintah untuk menetapkan panduan dan aturan untuk model bisnis yang baru ini. Namun, revisi aturan tersebut justru berisiko menghambat berbagai manfaat yang dihadirkan ridesharing kepada para penumpang, mitra-pengemudi dan kota-kota kita," tulis Uber.

Menurut Uber, dengan ridesharing penumpang dapat menghemat 65 persen dari biaya dan 38 persen dari waktu perjalanan dibandingkan saat menggunakan kendaraan pribadi.

Uber juga mengatakan bahwa 43 persen dari mitra-pengemudi bukan berasal dari angkatan kerja sebelum bermitra dengan Uber -- 28 persen di antaranya pengangguran.

Tidak hanya itu, Uber juga menyebutkan bahwa perjalanan di Indonesia telah digunakan oleh pengunjung dari 76 negara.

Oleh karena itu, Uber mengatakan bahwa beberapa hal dalam revisi peraturan baru tersebut perlu dipertimbangkan ulang, seperti pembatasan kuota kendaraan dan biaya perjalanan serta beratnya persyaratan.

"Hal-hal ini tidak sejalan dengan semangat pemerintah untuk menggalakkan ekonomi kerakyatan dan berbeda dengan langkah pemerintah kota DKI Jakarta yang tahun 2016 menghapus kuota dan batasan tarif taksi demi terciptanya persaingan yang sehat dan memandang kuota dan biaya perjalanan ridesharing tidak perlu diatur  karena melihat perbedaan model bisnisnya," ujar Uber.

Persyaratan-persyaratan seperti pengalihan kepemilikan kendaraan, pemasangan kartu identitas dan nomor kontak pelanggan di interior mobil dan sticker di kendaraan menurut Uber tidak memiliki manfaat langsung bagi keselamatan dan kenyamanan.

"Dan mungkin tidak lagi relevan karena kami menggunakan teknologi untuk meningkatkan keselamatan sebelum, selama dan setelah perjalanan dengan cara-cara yang tidak dimungkinkan sebelum era ponsel pintar," tulis Uber.

Uber juga meminta persyaratan akses data realtime perlu dikaji ulang karena merupakan informasi bisnis yang sensitif serta dapat melanggar hak privasi pengguna individu aplikasi Uber.

Baca juga: Tarif baru, ini komentar driver dan pengguna taksi online

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017