Hak angket memang hak konstitusional bagi DPR, tapi hak angket DPR itu adalah langkah mundur dan dikategorikan sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi
Jakarta (ANTARA News) - Tindakan panitia khusus (pansus) hak anget DPR terhadap KPK dinilai merupakan langkah mundur dalam pemberantasan korupsi.

"Hak angket memang hak konstitusional bagi DPR, tapi hak angket DPR itu adalah langkah mundur dan dikategorikan sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi," kata mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Jumat.

Konferensi pers itu dilakukan oleh sejumlah mantan pimpinan KPK yaitu Adnan Pandu Praja (pimpinan jilid III), Zulkarnain (pimpinan jilid III), Taufiequrachman Ruki (pimpinan jilid I dan pelaksana tugas pimpinan jilid III), Erry Riyana Hardjapamekas (pimpinan jilid I), Tumpak Hatorangan Panggabean (pimpinan jilid I dan plt pimpinan jilid II) dan Chandra M. Hamzah (pimpinan jilid II) serta mantan Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan mantan Deputi Pencegahan KPK Eko Soesamto Tjiptadi.

"Sejak 2005 pimpinan KPK jilid 1 sudah mensinyalir ada kegiatan yang kita beri nama corruptor fight back, perlawanan para tersangka koruspi terhadap pemberantasan korupsi sepanjang dilakukan menurut hukum mungkin mengajukan praperadilan, banding, gugatan itu sah-sah saja tapi upaya sistematik untuk melemahkan pemberantasan korupsi dengan cara melumpuhkan KPK itu adalah kemunduran buat bangsa ini," ucap Ruki, menegaskan.

Ia pun berharap para anggota pansus berpikir ulang mengenai tindakan-tindakan mereka.

(Baca juga: Didi Irawadi: Pansus Angket semakin tidak jelas)

"Tolong teman-teman yang terlibat sebagai anggota DPR terhormat dan menyelenggarakan angket, berpikirlah kembali, negara ini ringkih akibat digerogoti oleh sebuah penyakit yang namanya korupsi kok upaya-upaya pemberantasan korupsi dibuat seperti begini sekarang?" ungkap Ruki.

Ruki menegaskan bahwa KPK dapat dikritisi, didemo dan diajak bicara.

"Misalnya, soal laporan hasil pemeriksaan BPK, KPK sejak 2006 sudah punya mata anggaran sendiri dan sejak 2006 juga sudah dilakukan audit dan tiap tahun yang dikirim ke DPR karena memang ketentuannya begitu, jadi yang diminta 10 tahun terakhir itu sudah dipublikasikan," tutur Ruki.

Ada 7 fraksi yang mengirimkan anggotanya dalam pansus hak angket KPK yaitu Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi Hanura, Fraksi PPP, fraksi Gerindra dan Fraksi PAN dan Fraksi Nasdem.

Ketua pansus hak angket adalan Agun Gunanjar yang juga disebut dalam dakwaan korupsi KTP-e. Dalam dakwaan Agung Gunandar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI menerima sejumlah 1 juta dolar AS.

Pansus melakukan sejumlah hal untuk mencari-cari kesalahan KPK misalnya dengan meminta hasil pemeriksaan BPK terhadap KPK dan menyatakan ada temuan terkait Sumber Daya Manusia (SDM) atau penyidik, sistem pengelolaan keuangan internal (SPI) serta penyadapan di KPK pada 4 Juli 2017.

Selanjutnya pada 6 Juli 2017, pansus juga menemui beberapa narapidana kasus tindak pidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung dan Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur untuk mencari laporan pelanggaran HAM yang dilakukan KPK terhadap para narapidana tersebut.

(Baca juga: RDP Pansus Angket KPK di Lapas Sukamiskin selama delapan jam)

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik (KTP-E).

Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017