Kali ini agak istimewa, sebab yang dirilis 3 pasang ibu dan anak, serta 1 jantan besar dewasa
Balikpapan (ANTARA News) - Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) melepasliarkan tujuh orangutan (Pongo pygmaeus morio) ke Hutan Kehje Sewen di Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur yang berlokasi 700 km di barat laut Balikpapan.

"Kali ini agak istimewa, sebab yang dirilis 3 pasang ibu dan anak, serta 1 jantan besar dewasa," kata Chief Executive Officer (CEO) BOSF Dr Jamartin Sihite di fasilitas rehabiltasi orangutan Samboja Lestari, di Kecamatan Samboja pada Rabu.

Jamartin mengungkapkan, sejak pelepasliaran pada 2012 hingga saat ini, sudah terdapat 75 individu orangutan dari Samboja Lestari yang hidup di Hutan Kehje Sewen.

Tujuh orangutan yang dilepasliarkan itu bernama Abel (21 tahun) dan anaknya yang berkelamin jantan Alejandro (7 tahun), kemudian Imut (19 tahun) beserta anaknya yang juga jantan Ical (7 tahun).

Pasangan ibu dan anak lain bernama Belinda (22 tahun) dengan anak berkelamin betina bernama Maureen (6 tahun).

"Mereka dijaga oleh pejantan Kumar, 23 tahun, yang bobotnya mencapai 108 kg," jelas Jamartin.

Dibandingkan para betina dan anak-anaknya, Kumar yang berusia 23 tahun memang jantan raksasa yang dominan dan tidak pernah jinak.

Wajah Kumar dihiasi bantalan pipi atau "cheekpad" dengan mata yang tajam.

Sementara itu Manajer program BOSF, Dokter hewan Agus Irianto mengatakan, Kumar dibawa ke Samboja Lestari pada 26 Oktober 1998 saat usianya masih 4 tahun.

"Diselamatkan penduduk dari sekitar tambang Kaltim Prima Coal di Sangatta, Kutai Timur," jelas Agus.

Sejak pertama datang, sampai akhirnya dinyatakan lulus untuk kembali ke hutan, Kumar tidak pernah dekat dengan manusia.

Kemampuannya membangun sarang, mencari makanan, dan mengenal bahaya, membuat kru BOSF di Samboja Lestari yakin Kumar dapat berhasil mandiri di hutan nanti.

Kisah Abel juga lebih kurang sama. Ia diserahkan oleh seorang warga desa Teluk Pandan, Sangatta, pada 21 Maret 2001.

Ketika itu usianya 4 tahun dan beratnya 10,5 kg. Warga desa tersebut mengaku menangkap Abel saat orangutan betina itu nyasar masuk ke ladang masyarakat.

"Karena saat kedatangan Abel masih menunjukkan sifat liar, kami tidak memasukkannya ke Sekolah Hutan," kata dr Agus.

Sekolah Hutan adalah program BOSF untuk mengajari orangutan berbagai keterampilan bertahan hidup mandiri di alam bebas sebagai orangutan liar.

Program itu diadakan karena sebagian orangutan yang sudah lama hidup bersama manusia, atau pun anak orangutan yang menjadi yatim karena induknya terbunuh, tidak atau belum menguasai keterampilan hidup di alam liar.

Bahkan orangutan betina yang sudah bunting dan kemudian beranak pun terkadang menolak bayinya.

"Seperti Imut, ia mengalami sindrom 'babyblues' dan tidak mempedulikan Ical," tambah Agus.

Pada saat itu, para perawat dan dokter di Samboja Lestari menghadapinya dengan tenang. Imut dan Ical dipisahkan sementara selama 8 hari. Kemudian ketika Imut sudah bisa mengatasi sindrom dan naluri keibuannya muncul, Ical dikembalikan kepadanya.

"Kalau lihat mereka, kadang terharu. Imut itu dibawa ke kami Juli 2000 dalam kondisi diare, cacingan, dan menderita pneumonia," kenang Agus.

Pada 2017, BOSF menargetkan dapat melepasliarkan 100 orangutan ke Hutan Kehje Sewen, dan 100 lagi dari kandang ke pulau-pulau prapelepasliaran di Samboja Lestari.

Pulau prapelepasliaran adalah kawasan hutan yang dikelilingi parit sedalam 3 meter lebih dengan lebar 5 meter untuk mencegah orangutan keluar dari kawasan itu.

"Kemarin Selasa kami sudah pindahkan 10 orangutan remaja ke Pulau 8, pulau yang baru kami buat di timur sana, 500 meter dari klinik," jelas Jamartin.

Di Pulau 8 itu dilepaskan orangutan remaja antara lain bernama India, Inggrid, dan Desi.

Selama di pulau itu, kondisi dan kemampuan bertahan hidup mereka akan dipantau.

Pulau prapelepasliaran adalah tempat praktik bagi orangutan yang sudah lulus sekolah hutan dan sebagai persiapan menuju alam bebas.

Pewarta: Novi Abdi
Editor: Bayu Kuncahyo
Copyright © ANTARA 2017