Jakarta (ANTARA News) - Situasi Laut China Selatan setahun setelah putusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) PBB di Den Haag, Belanda, masih rumit, karena China terus melakukan berbagai kegiatan di wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan keprihatinan masyarakat di kawasan itu.

Apa hasil-hasil keputusan PCA itu? Pada tanggal 12 Juli 2016, PCA memutuskan tidak mengakui "garis-garis berbentuk U" di wilayah Laut China Selatan yang diklaim sebagai wilayah teritorial China dan memenuhi Filipina sebagai penggugat. Mahkamah itu menyatakan klaim China tidak memiliki dasar hukum, dan menolak "hak sejarah" dari China di Laut China Selatan.

Keputusan itu juga jelas mengidentifikasi bahwa pulau buatan China yang dibangun di atas terumbu karang di Laut China Selatan tidak dapat dianggap sebagai zona ekonomi eksklusif 200 mil.

PCA telah menetapkan bahwa China telah melanggar kedaulatan Filipina di zona ekonomi eksklusif melalui kegiatan-kegiatan, seperti memblokir kapal penangkap ikan Filipina, membangun pulau buatan, dan hak-hak memancing di Scarborough Shoal.

Segera setelah putusan PCA keluar, Beijing menanggapinya dengan mengumumkan "tidak dapat menerima dan tidak mengakui" putusan tersebut. Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan Nasional, dan banyak media resmi di negara itu secara bersamaan mendukung keputusan pemerintahnya untuk menolaknya.

Dalih penolakan mereka ialah pulau-pulau dan batu-batu. Kawasan itu dikendalikan dengan zona ekonomi eksklusif dan para nelayanya telah beroperasi di sana selama 2.000 tahun.

Keputusan mahkamah itu memiliki dasar hukum internasional yang penting, UNCLOS 1982. Semua negara di kawasan itu, termasuk China, telah menandatangani dan meratifikasi konvensi ini dan dokumen ini memiliki dasar hukum umum untuk penyelesaian sengketa maritim.

China telah mengklalim seluruh wilayah Laut China Selatan miliknya, sementara Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan juga mengklaim sebagian kawasan strategis itu menjadi teritorial mereka. Hingga kini, wilayah itu masih dipersengekatan para pihak dan cara-cara diplomasi ditempuh.


Aktivitas China

Dengan dukungan kekuatan yang sangat kuat dan fasilitas paling modern, dalam kurun waktu 2014 s.d. 2015, China telah membangun pulau-pulau buatan di Laut China Selatan. Dikabarkan total pertambahan luas oleh China di Kepualauan Spratly adalah sekitar 1.300 hektare. Ini adalah skala pekerjaan yang dapat dikatakan terbesar di planet ini dan tidak pernah ada tandingannya.

Aktivitas selanjutnya yang dilakukan China ialah membangun dua bandara utama di Cross Island dengan landasan pacu sepanjang lebih dari 3.000 meter, melayani naik-turunnya pesawat pengebom strategis milikya.

Di pulau-pulau dekatnya China telah membangun hanggar-hanggar, radar frekuensi tinggi yang memiliki kemampuan untuk mengontrol setiap pesawat, kapal asing yang melintasi Selat Malaka dan Laut China Selatan.

Secara paralel dengan kegiatan konstruksi pangkalan militer, China juga membangun pekerjaan sipil, seperti klinik kesehatan, pusat bantuan, penyelamatan di laut, dasar jasa kelautan, perbaikan kecil, pompa minyak, tanker, membangun mercusuar, pusat penelitian- penelitian ilmiah kelautan dan lingkungan.

Mereka mengatakan bahwa membangun fasilitas-fasilitas sipil tidak hanya melayani kebutuhan China sendiri, tetapi juga semua kapal internasional.

Namun, aktivitas China itu yang tetap berjalan walaupun PCA telah mengeluarkan keputusannya. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi.


Reaksi Masyarakat Internasional

Setelah pembicaraan tahunan dengan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop di Sydney, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson memperingatkan China agar tidak menggunakan kekuatan ekonomi untuk menghindari tanggung jawab internasional Beijing di Laut China Selatan.

Tillerson juga menegaskan pernyataan Menteri Pertahanan AS Jim Mattis yang memprotes kegiatan pembangunan China di Laut China Selatan, yang diperdebatkan.

"Amerika Serikat dan Australia menegaskan kembali komitmen mereka terhadap kebebasan navigasi dan penerbangan, serta penggunaan yang sah di laut, terutama di Laut China Selatan dan di tempat lain, untuk memastikan operasi normal tatanan hukum berdasarkan aturan. Kami menentang pembangunan kegiatan pulau buatan dan militerisasi di perairan internasional," kata Menlu AS.

Menurut dia, aktivitas China di Laut China Selatan sangat mengkhawatirkan dan dapat menjadi ancaman bagi ekonomi global jika Bejing mengendalikan akses ke wilayah perairan itu yang sangat vital bagi militer dan perdagangan besar.

Selain AS, negara-negara lain, seperti Jepang, Australia, dan Prancis sangat prihatin atas tindakan China setelah PAC mengeluarkan keputusan tersebut. Negara-negara ini menginginkan China berperilaku secara bertanggung jawab sebagai kekuatan utama dalam rangka menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.

Untuk ASEAN, isu Laut China Selatan telah menimbulkan perpecahan di antara beberapa negara anggotanya. Menghadapi perkembangan yang kompleks di kawasan, 10 negara anggota perhimpunan ini memerlukan solidaritas di antara sesama. Nilai-nilai yang telah dibangun bersama selama ini telah menjadi keberhasilan ASEAN yang diakui di dunia. Oleh karena itu, jika masalah Laut China Selatan tidak diselesaikan dengan baik, tidak mustahil pembangunan organisasi ini pada masa depan akan terpengaruh.

ASEAN dan China harus segera mencapai Tata Perilaku (COC) mengikat, komprehensif, bermakna, dan menjadi alat yang efektif untuk mencegah konflik dan menjaga perdamaian, stabilitas, keamanan, dan keselamatan di wilayah tersebut.

Pada tanggal 18 Mei, ASEAN dan China telah mengadakan pertemuan tingkat pejabat senior ASEAN-China mengenai Implementasi Deklarasi XIV tentang Tata Perilaku Para Pihak (DOC) di Laut China Selatan (DOC) di China.

Pada pertemuan itu, para pihak mencatat hasil kelompok kerja DOC/COC mengenai kerangka rancangan COC, dan setuju untuk menyerahkan draf ke Konferensi Menteri ASEAN-China pada bulan Agustus sebagai pertimbangan dan arahan. Adopsi resmi kerangka untuk COC akan berlangsung pada bulan November di Filipina yang menjabat keketuan ASEAN tahun ini.

Mereka menegaskan untuk terus melanjutkan dialog dan konsultasi dalam rangka mempercepat proses DOC/COC demi memelihara dialog dan kerja sama bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017