Meski jadwal masuk sekolah tahun ajaran baru di sejumlah daerah di Indonesia belum dimulai, namun, Selasa (11/7), Sekolah Modal Bangsa di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sudah ramai dengan aktivitas belajar mengajar sejak pagi.

Yang terlihat, ratusan remaja beserta guru dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau sederajat sama-sama sedang sibuk belajar dalam banyak kelompok, di dalam maupun di luar ruang kelas di sekolahan berasrama tersebut.

Sekitar 20 sampai dengan 30 remaja berkerumun di lapangan upacara, mengelilingi peneliti senior Yuliana Susilowati dari Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dalam kegiatan Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) XVI menjadi instruktur untuk kelas IPA-Tek 4.



(Foto: Virna P Setyorini)

Beberapa lembar peta rupabumi wilayah Aceh Besar dari berbagai skala diletakkan bertumpuk di tanah. Sedangkan para remaja peserta PIRN yang mengenakan seragam kaos lengan panjang berwarna dasar jingga ada yang hanya mendengarkan, ada yang sibuk mencatat, ada yang mengabadikan suasana dengan kamera.

"Nanti di bus bukan tidur ya, nanti ketahuan kalau ada yang tidur, karena dia pasti hanya punya sedikit data," kata Yuliana mengingatkan.

Setelah sehari sebelumnya peserta mendapat pengantar penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah, belajar metodologi penelitian dan menyusun proposal penelitian, hari itu mereka yang berasal dari kelas IPA-Tek mulai meneliti ke lapangan. Mereka mempraktikkan pengumpulan data di lapangan untuk kemudian diolah dan hasilnya dituliskan dalam sebuah karya tulis ilmiah.

Salah satu lokasi penelitian pertama yang didatangi rombongan remaja ini adalah Desa Lamcok dan Desa Lamgaboh di Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, yang menjadi pusat kerajinan rotan di Aceh. Beramai-ramai mereka mengajukan banyak pertanyaan ke Darwin, pemilik toko kerajinan dan anyaman rotan Dua Saudara.

Tidak hanya mengajukan pertanyaan, setiap kelompok juga membawa pulang sekantong rotan beragam jenis yang biasa jadi bahan baku anyaman sebagai sampel penelitian mereka. Beberapa terlihat mengabadikan gambar melalui telepon pintarnya sebagai bahan untuk presentasi karya tulis yang nantinya akan mereka buat.


(Pemilik toko kerajinan dan anyaman rotan Dua Saudara di Desa Lamcok, Kecamatan Lhoknga, Darwin (kiri) menjawab pertanyaan peserta Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) XVI. Foto: Virna P Setyorini)

Lebih dari 30 menit mereka di sana, lalu berpindah lokasi ke Pantai Lampuuk yang cantik berpasir putih untuk meneliti potensi wisata di daerah pesisir tersebut. Namun di lokasi ini peserta PIRN XVI yang meneliti adalah para guru, dengan instruktur peneliti senior Puslit Oceanografi LIPI Suharsono.

"Seharusnya memang kondisi perairannya yang diteliti. Tapi karena kondisi lautnya juga kurang bersahabat di musim angin barat seperti ini dan kebetulan ada permintaan dari Pemerintah Daerah Aceh untuk meneliti wisatanya, jadi kita alihkan obyek penelitian kita untuk wisata di sini," kata Prof Suharsono.

Tapi sebagai peneliti memang tidak boleh kehilangan akal dan apapun sebenarnya bisa digali. Jika melihat sepintas kondisi Pantai Lampuuk yang masih alami, menurut dia, masih banyak yang bisa dikembangkan dari sektor wisata, dengan konsep ramah lingkungan seperti menciptakan ekowisata.

"Saya harap mereka cukup jeli melihat potensi-potensi yang ada. Saya sendiri merasa cukup terbantu sebagai instruktur para guru, mereka menjadi lebih mudah memahami saya karena mereka guru," ujar Suharsono.

Beberapa peserta sempat mendapat arahan sesampainya di lokasi penelitian, beberapa juga dengan leluasa berdiskusi dengan instrukturnya di sana. Tugas mereka mencari sebanyak mungkin informasi dari pengunjung, pengelola penginapan atau resort, pemilik restoran atau tempat makan, pengelola tempat wisata, kondisi pantai hingga musim yang menghampiri pesisir tersebut.

Berjarak lebih dari 30 menit berkendara ke arah tenggara dari Pantai Lampuuk menyusuri Jalan Raya Aceh-Melabouh tepatnya di Desa Layeun, Kecamatan Leupung, Aceh Besar, rombongan peserta PIRN XVI lainnya dalam jumlah lebih banyak meneliti wilayah tersebut.

Mereka mendatangi keramba hingga kelompok pembuat dan penjual ikan asin di desa tersebut. Udang kering dan ikan asin yang laris menjadi buah tangan dari desa tersebut tembus pasar ekspor hingga Malaysia dan Brunei Darussalam, karenanya tantangan bagi peserta PIRN kali ini perlu meneliti potensi-potensi lain yang bisa memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan desa pesisir tersebut.



(Peserta PIRN XVI di Pantai Lampuuk, Aceh Besar, Selasa (11/7). Foto: Virna P Setyorini)


Demi (belajar) meneliti

Yanoarius Aspi Mahuze (17), siswa kelas 11, SMA 4 Merauke, bersama tiga temannya jauh-jauh terbang ke Aceh untuk mengikuti PIRN XVI. Ia mengaku senang bisa ikut kegiatan yang dilaksanakan dari 9 s.d. 16 Juli 2017 ini.

Bagaimana tidak, dalam kurun waktu satu minggu ia bersama tiga teman sekolahnya mendapat 447 teman baru dari 28 provinsi di Indonesia. Tidak heran jawaban pertama yang diberikan ketika ditanya apa yang sudah didapat hingga hari keempat mengikuti PIRN adalah kawan baru dan berbagi pengalaman.

Saat ditanya apakah ada ketertarikan menjadi peneliti setelah mengikuti kegiatan tahunan yang diadakan oleh LIPI ini, Mahuze mengatakan iya. Meski ia kemudian mengaku sebenarnya cita-cita utamanya adalah menjadi seorang pengusaha sukses.

Berbeda dengan Fatimah Almuqaromah, siswa kelas 12 SMA Islam Sinar Cendekia Tangerang Selatan yang saat ditanya apakah memang mau menjadi peneliti langsung menjawab,"Mau, mau banget".

Fatimah yang senang disapa Al ini mengaku ingin sekali bisa meneliti fauna. Dirinya cukup antusias ketika sedang ditemui di laboratorium kimia dan fisika SMA Modal Bangsa Aceh sedang membanding warna alami yang muncul dari proses kimia kulit kayu dan akar mangrove yang diambil dari Pantai Pasir Putih.

Siswa kelas 11 SMA 10 Banda Aceh Ahmad Razaq (16) dan Raihan Tariq (16) yang mengaku baru pertama mengikuti kegiatan PIRN ini sangat tertarik belajar meneliti langsung dari peneliti-peneliti LIPI.

Mereka mengaku sudah sempat mendengar tentang kegiatan ini dari kakak kelas yang mengikuti PIRN XV di Bengkulu pada 2016. Dan kini berharap mendapatkan pengetahuan secara lengkap cara meneliti dan bagaimana menjadi peneliti melalui kegiatan ini.

Jika Razaq tertarik meneliti ilmu sosial seperti dampak pembangunan besar-besaran terhadap masyarakat sekitarnya, maka Raihan lebih tertarik meneliti untuk menciptakan robot yang membantu manusia menemukan sumber daya baru yang akan dibutuhkan manusia di masa depan.

Raihan sebelumnya menjuarai lomba membuat robot yang menjadi alat membantu aktivitas manusia yang rutin digelar Universitas Syiah Kuala. Dirinya menjadi juara 1 berkat robot "vacuum cleaner" yang dikerjakan bersama rekan sekelompok di 2016.


(Peserta melakukan persiapan penelitian lapangan dengan menyusun instrumen penelitian. Foto: Virna P Setyorini)


Peserta PIRN XVI lainnya Nova Pravita Sari (16), siswa kelas 11 SMKN 1 Simpang Giri, Aceh, mengaku mendapat banyak pengalaman, teman dan pengetahuan dengan mengikuti kegiatan ini. Hal lain yang diterimanya dari kegiatan ini adalah disiplin, mengingat ini kali pertama dirinya berada di asrama, dan semua harus dikerjakan sendiri.

Salah seorang guru yang menjadi peserta PIRN dari SMA 1 Jambi Tri Condro mengatakan semangat para remaja yang mengikuti kegiatan ini luar biasa. "Bahkan semalam sampai jam 11 mereka masih menumbuk karang menjadi bubuk untuk dibuat sampel penelitian di laboratorium".

Ia mengaku mengikuti PIRN setelah murid-muridnya meminta izin dan pendampingan pergi ke Aceh mengikuti perkemahani ilmiah. Perjalanan darat dua hari dari Jambi ke Aceh tidak menyurutkan semangat anak-anak didiknya, meski membayangkan pulang ke Jambi melalui jalan darat lagi begitu berat karena melewati dua provinsi, Sumatera Utara dan Riau.

Aktivitas dalam kegiatan Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional ini memang padat. Dalam seminggu mereka mendapat materi metodologi penelitian, dilanjutkan dengan persiapan penelitian lapangan berupa penyusunan instrumen penelitian, melakukan pengumpulan data atau penelitian lapangan yang berlanjut ke pengolahan, analisis, pembuatan alat, penulisan karya tulis ilmiah dan persiapan presentasi dan diakhiri dengan presentasi laporan.

Aceh Besar menjadi kawah candradimuka bagi remaja-remaja berusia belasan tahun ini. Jika sesaat mendengar dan melihat semangat dan antusias mereka saat belajar melakukan penelitian, rasanya masa depan Indonesia tampak cerah, menjadi lima besar ekonomi dunia bukan fatamorgana.

Tugas terberat namun harus dilakukan pemerintah, swasta, masyarakat, orang tua, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, ulama atau tokoh agama, perguruan tinggi, sekolah, guru, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya menjaga energi-energi positif dari remaja-remaja ini tetap ada dan semakin kuat untuk Indonesia dan peradaban manusia di masa depan.



Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017