Yogyakarta (ANTARA News) - Tim Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada meminta pemerintah tidak melonggarkan upaya pengendalian jumlah penduduk dengan tetap mempertahankan program Keluarga Berencana.

"Melonggarkan kebijakan pengendalian jumlah penduduk hanya akan menjauhkan Indonesia dari kesempatan untuk dapat menikmati bonus demografi lebih lama," kata Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Heruanto Hadna di Yogyakarta, Kamis.

Hal itu disampaikan Hadna untuk merespons pernyataan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro yang menyebutkan Presiden Joko Widodo meminta agar program Keluarga Berencana (KB) dipertimbangkan kembali karena khawatir jumlah penduduk produktif berkurang.

Menurut Hadna kekhawatiran pemerintah akan tren penduduk yang menginginkan sedikit anak seperti yang terjadi di negara-negara maju sebenarnya tidak perlu terjadi karena kultur Indonesia berbasis komunal dan bukan individualisme sebagaimana di negara-negara maju dan di Barat.

"Pada kultur demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa keluarga akan memiliki sedikit anak atau bahkan tidak berniat memiliki anak karena pengasuhan anak dalam keluarga tidak hanya akan ditopang oleh keluarga inti tetapi juga oleh keluarga besar," kata dia.

Oleh sebab itu, menurut dia tidak perlu ada kekhawatiran bahwa Indonesia akan seperti Jepang dengan jumlah penduduk lansia sangat tinggi, sedangkan jumlah penduduk usia produktifnya rendah.

Cakupan program KB, kata dia sebetulnya jauh lebih kompleks dan luas dari sekadar pengendalian pertumbuhan penduduk. KB memiliki pengaruh signifikan terhadap berbagai indikator kesehatan, terutama kesehatan reproduksi.

Ia menyebutkan berdasarkan survei penduduk pada 2015 tingkat kematian ibu di Indonesia mencapai 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran. Sebagian besar disebabkan faktor perdarahan akibat usia ibu yang masih terlalu muda, terlalu tua, jarak kehamilan yang terlalu rapat, atau karena terlalu banyak anak.

"Pemahaman tentang konsep KB bukan hanya soal kuantitas penduduk, tetapi isu kualitas penduduk harus dijadikan dasar bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan kependudukan di Indonesia," kata dia.

Ia berharap pemerintah tidak tergesa-gesa menyimpulkan bahwa saat ini angka fertilitas di Indonesia sudah terlalu rendah sehingga membutuhkan redesain program KB dengan menambah jumlah anak.

Menurut dia, pemerintah dapat melakukan diversifikasi kebijakan kependudukan yang sesuai dengan kondisi pada masing-masing wilayah. Tidak lagi dengan menerapkan kebijakan tunggal yang berlaku sama mulai dari pusat hingga daerah seperti saat ini.

Kondisi angka kelahiran total (TFR) Indonesia dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu provinsi dengan TFR sangat rendah, provinsi dengan TFR rendah di bawah 2,1, provinsi dengan TFR sudah 2,1 serta provinsi dengan TFR masih tinggi.

Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya pada 2035 diproyeksikan masih memiliki angka kelahiran paling tinggi (3,1) diikuti oleh Maluku (2,8) dan Sulawesi Barat (2,7), sedangkan terendah akan terjadi di DKI Jakarta (1,6) dan DI Yogyakarta (1,7).

"Dengan demikian, jika pemerintah ingin mengatur angka kelahiran dalam rangka menurunkan TFR, maka konsentrasilah pada provinsi-provinsi dengan TFR masih tinggi, sedangkan provinsi yang sudah mempunyai TFR rendah, kebijakan yang diterapkan di sana tentu harus berbeda," kata dia.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017