Jakarta (ANTARA News) - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tidak beralasan.

"Menurut saya Perppu itu tidak beralasan. Tidak memiliki alasan yang kuat," ujar Natalius di Gedung Komnas HAM Jakarta, Jumat.

"Yang berbahaya bagi Komnas HAM adalah dengan adanya Perppu itu dijadikan sebagai alat pemukul oleh pemerintah untuk membungkam kebebasan berorganisasi, kebebasan berpendapat, pikiran maupun perasaan," sambung dia.

Hal itu, menurut Natalius berbahaya dan bertentangan dengan berbagai konvensi, baik Kovenan PBB tentang sipil dan politik, UUD No.12 Tahun 2005, maupun Undang-Undang Dasar RI.

"Jadi, kalau dilihat dari ini, Perppu itu sudah sangat menentang kebebasan sipil," tegas Natalius.



Natalius melihat ada beberapa prinsip yang ditabrak oleh negara. Dia menjelaskan Perppu dapat dikeluarkan ketika negara dalam keadaan darurat dengan melalui state in emergency, sebuah pernyataan pemimpin negara, yang menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat.

"Ini tanpa pernyataan state in emergency oleh kepala negara mengeluarkan Perppu. Sekarang pertanyaannya adalah apakah eksistensi ormas di Indonesia itu sangat mengancam integrasi sosial?," kata Natalius.

"Kedua, integrasi relasi antara negara vertikal dengan rakyat. Hubungan antara negara dengan rakyat sekarang goncang tidak? Perbedaan pandangan ada, tapi kan tidak goncang," lanjut dia.

Natalius menyebut HTI memiliki dasar hukum yang kuat untuk dapat mengajukan gugatan.

"Keputusan hukum hanya bisa dikeluarkan oleh Lembaga Yudisial, pengadilan. Prosedur pencabutan ijin sebuah organisasi masyarakat itu melalui pengadilan, tapi dengan adanya Perppu tanpa melalui pengadilan silakan saja, itu kan keputusan politik pemerintah, tetapi tidak berarti HTI tidak memiliki standing hukum," ujar Natalius.

"Jadi, dengan demikian dalam konteks Perppu dan pembubaran HTI ini Komnas HAM sangat-sangat menolak," tambah dia.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017