Kupang (ANTARA News) - Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh, sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua dan bola api, merah padam membenam di ufuk teduh.

Demikianlah sepenggal puisi karya Taufik Ismail seorang penyair serta sastrawan Indonesia yang sangat mencintai pulau Sumba yang mempunyai keunikan akan kuda Sandelwood-nya.

Masyarakat di daratan pulau Sumba kehidupannya tidak pernah terlepas dari kuda. Kuda yang berada di Sumba adalah kuda jenis Sandelwood yang hanya berada di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Seorang Joki mencium kudanya usai mengelar parade 1001 kuda sandelwood di kota Waetebula, Sumba Barat Daya. (ANTARA News/Kornelis Kaha).



Kuda Sandel atau lebih lengkapnya Sandalwood pony adalah kuda pacu asli Indonesia yang hidup di pulau Sumba. 

Nama Kuda Sandelwood sendiri dikaitkan dengan kayu Cendana yang pada zaman dahulu merupakan komoditas unggulan masyarakat NTT khususnya di pulau Sumba untuk di ekspor ke sejumlah daerah lainnya di Indonesia.

Kuda bagi masyarakat Sumba mempunyai peranan besar dalam seluruh siklus kehidupan masyarakat di daerah itu, baik itu sejak lahir hingga meninggal dunia.

Budayawan dari Sumba Pater Robert Ramone CSsR mengatakan jika dilihat dari kebutuhan khususnya dalam bidang transportasi, kuda sering digunakan atau dimanfaatkan untuk mengantar berbagai hasil pertanian untuk dijual di pasar atau di perkotaan.

"Masyarakat tradisional di pedesaan sering menggunakan kuda untuk moda transportasi jika memang di daerah pedesaan tidak ada kendaraan umum yang melintas," katanya.

Di samping itu, menurut pria pendiri dan pengelola rumah budaya Sumba ini, dalam hal pernikahan kuda menjadi mahar atau mas kawin yang dibayarkan oleh pihak pria kepada pihak wanita. Kuda juga disimbolkan sebagai yang perkasa dan tangguh.

Oleh karena itu, tidak heran jika banyak orang-orang Sumba khususnya para raja di daerah itu selalu mempunyai kuda karena menunjukkan ketangguhan dan kewibawaan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar kuda sering ditemukan sejumlah tenun ikat Sumba, bahkan kuburan orang yang sudah meninggal juga dilukis dan dibuatkan sebuah patung kuda yang di atasnya ditunggangi oleh pemiliknya sambil membawa tombak.

Keadaan alam Sumba yang tandus dan kering menempa sikap hidup masyarakat Sumba yang terkenal dengan keberanian dan ketangguhannya dalam berjuang keras untuk mempertahankan hidup.

Saat seorang anak Sumba lahir, kuda juga digunakan sebagai alat budaya dalam ritual-ritual budaya.

Bahkan saat meninggal pun kuda dipakai sebagai bagian dari ritual menghantar jenazah ke pemakaman karena masyarakat Sumba percaya bahwa kuda adalah alat tunggang bagi arwah yang sudah meninggal menuju kehidupan abadi.

Umbu Kadebu Tagobori masyarakat Desa Dewajara, Kabupaten Sumba Tengah mengaku mempunyai kurang lebih 10 ekor kuda, baik jantan maupun betina.

Kuda-kuda itu tidak pernah habis walaupun sering digunakan untuk mas kawin atau digunakan dalam kegiatan adat, sebab selalu ada yang lahir kembali jika ada yang dilepas pergi.

Baginya kuda diyakini sebagai simbol harga diri, simbol martabat, dan simbol kehidupan orang Sumba.

"Jadi jika ada orang di desa asli yang tidak memiliki kuda, hal itu akan menjadi bahan pembicaraan di tengah masyarakat," tuturnya.

Maka tidak heran jika saat berkunjung ke pulau Sumba terlihat kuda ada di mana-mana. Harga diri orang Sumba dan status sosialnya diukur dari semakin banyaknya kuda yang dimiliki.


Populasi Sandelwood


Kuda Sandelwood merupakan kuda mungil asal Indonesia yang banyak ditemukan di Pulau Sumba. Meskipun ukuran tubuhnya lebih kecil dari pada kuda jenis lainnya, namun ia sangat lincah dan tangguh.

Cerita tentang asal-usulnya ini dikatakan merupakan hasil perkawinan kuda Arab dengan kuda lokal. Disebut Sandelwood karena ada kaitannya dengan komoditas khas Pulau Sumba dan daerah-daerah lain di kepulauan Nusa Tenggara.

Warga Sumba membawa sejumlah kuda di kampung adat Waitabar, Sumba Barat yang digunakan sebagai mahar kawin uang diberikan oleh pihak pria kepada mempelai perempuan. (ANTARA News/Kornelis Kaha).


Catatan yang dibuat oleh J de Roo Van Alderwerelt dalam bukunya "Historische Aanteekeningen over Soemba" (perjalanan sejarah Sumba) menyebut peminat kuda Sandelwood tampaknya tidak hanya masyarakat Sumba. 

Kuda yang imut itu diminati oleh orang-orang dari luar Sumba dan dijadikan sebagai komoditas yang menguntungkan sejak era 1840-an, dengan dijual ke sejumlah daerah.

Akibat perdagangan kuda Sandelwood yang semakin marak, pada pertengahan abad ke-20, jumlah populasinya terus menurun.

Selain itu, penurunan populasi ini juga dipicu adanya penyakit menular.

Kemudian pemerintah mencanangkan program pengembangbiakan dengan melakukan persilangan dengan kuda "throughbred" dari Australia. Hasil persilangan ini menjadikan keturunan Sandelwood menjadi lebih bertenaga dan lebih cepat berlari.

Pater Robert Ramone juga mengakui hal tersebut. Menurut dia, saat dirinya masih berusia sekolah Dasar hingga Sekalah Menengah Atas (SMA), kuda Sandelwood masih banyak berkeliaran di pulau Sumba.

Kuda Sandelwood memang terkenal sebagai kuda yang kuat dan lincah. Walaupun ukuran tubuhnya lebih kecil daripada kuda kebanyakan. Tinggi punggungnya hanya berkisar antara 130-142 cm.

Namun, kaki dan lehernya besar dan kuat, demikian pula dengan kuku-kukunya yang menjadikannya sebagai kuda dengan kekuatan yang menakjubkan.

"Itulah mengapa kuda ini cocok digunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang, dan kuda pacu. Namun sayang dalam even-even parade beberapa waktu lalu, jumlah kuda Sandelwood bisa dihitung dengan jari, sisanya adalah kuda-kuda tinggi hasil perkawinan campur dengan kuda Australia," tuturnya.

Panitia penyelenggaraan Parade 1001 Kuda Sandelwood di Sumba Barat Daya misalnya, mendata hanya ada 10 Kuda Sandelwood yang ikut dalam Parade tersebut. Sementara di Sumba Barat hanya ada 12 kuda Sandelwood, sedangkan di Sumba Tengah hanya ada lima kuda Sandelwood.

Oleh karena itu, biarawan Katolik dari ordo CSsR itu mengharapkan dengan parade tersebut, semakin banyak masyarakat di pulau Sumba untuk mempertahankan populasi kuda asli Sumba yang memang menjadi ciri khas Sumba.

"Banyak yang masih menjual kuda keluar Sumba, oleh karena itu Parade ini bisa menyadarkan masyarakat untuk tetap menjaga kudanya dengan tidak menjualnya," tambahnya.


Jaga Sandelwood

Peserta parade sambil menunggang kuda membawa serta seekor anjing saat parade 1001 kuda sandelwood di Waetabula, Sumba barat daya. (ANTARA News/Kornelis Kaha).


Pemerintah Sumba Barat Daya mengakui bahwa populasi kuda Sandelwood memang sudah berkurang hingga saat ini.

Senada dengan Pater Robert Ramone, Bupati Sumba Barat Daya Markus D Tallu menilai parade 1.001 Kuda Sandelwood memberikan harapan baru bagi para pemilik Kuda di Sumba untuk terus menjaga dan mengembangkan kuda mereka khususnya kuda Sandelwood.

"Kita akui bahwa kuda sandelwood semakin berkurang populasinya, oleh karena itu Parade ini akan memberikan kesempatan kepada masyarakat juga menjaga dan merawat kuda-kudanya, khususnya kuda Sandelwood," tuturnya.

Pergelaran Parade Kuda Sandelwood yang kembali akan digelar pada tahun 2018 karena telah menjadi agenda tahunan ini tentu saja akan memberikan dampak positif bagi kuda-kuda milik masyarakat Sumba.

Selain itu, kegiatan parade itu juga menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjungan ke pulau Sumba dan pulau Sumba tidak lagi disebut sebagai pulau Sumbawa.

Presiden Joko Widodo (keempat kanan) didampingi ibu negara Iriana Jokowi (ketiga kanan) menyaksikan parade kuda sandelwood di Waetabula, Sumba barat daya. (ANTARA News/Kornelis Kaha).


Presiden Joko Widodo dalam kesempatan mengunjungi masyarakat di pulau Sumba mengimbau agar budaya unik Parade Kuda Sandelwood tetap dijaga. Di samping itu juga populasi kuda Sandelwood juga tetap dijaga mengingat semakin menurun populasinya.

Pemerintah daerah juga diminta untuk tidak menggelar kegiatan tersebut seperti perumpamaan "kembang api yang menyala terang, setelah itu redup dan hilang".

"Parade Sandelwood dan Festival Tenun Ikat jangan sampai hanya seperti kembang api saja, yang menyala dan indah kemudian kembali redup. Oleh karena itu kegiatan ini harus terus dilakukan, setiap tahunnya," tambah Presiden.

Pesan Presiden Jokowi itu tentu saja menjadi tantangan bagi pemerintah daerah setempat untuk terus mempertahankan budaya tersebut, serta memikirkan dan melakukan berbagai inovasi kegiatan agar dapat menarik jumlah wisatawan lebih banyak lagi. 

Oleh Kornelis Kaha
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017