Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel A Pangerapan mengatakan normalisasi aplikasi Telegram berbasis web menunggu respon perusahaan tersebut dalam memenuhi ketentuan yang ada.

"Normalisasi tergantung dari seberapa cepat respon memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada. Kalau ketentuan yang ada sudah terpenuhi, ya kita harus melakukan normalisasi," katanya dalam konferensi pers di Gedung Kominfo Jakarta, Senin.

Ia mengatakan bahwa Telegram telah disalahgunakan oleh para teroris untuk melakukan komunikasi dan koordinasi, selain itu juga menyebarkan materi-materi terkait terorisme.

Kementerian Kominfo sendiri telah mengirim email enam kali tanpa jawaban, sehingga pada 14 Juli 2017 diputuskan untuk melakukan pemblokiran.

Kini, menurut dia, telah terjadi perkembangan. Pihak Telegram juga telah memulai komunikasi guna menyelesaikan persoalan ini.

Seperti dinyatakan dalam pers rilis yang disampaikan dalam konferensi pers tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara juga menyampaikan telah menerima email permintaan maaf dari CEO Telegram Pavel Durov.

"Saya sudah menerima email mengenai permintaan maaf Pavel Durov, rupanya dia tidak menyadari adanya beberapa kali permintaan dari Kementerian Kominfo 2016," katanya.

Ia mengatakan bahwa CEO Telegram kini telah menindaklanjuti dan mengusulkan komunikasi khusus untuk proses penanganan konten negatif khususnya radikalisme/teorisme.

"Saya mengapresiasi respon dari Pavel Durov tersebut dan Kementerian Kominfo akan menindaklanjuti secepatnya dari sisi teknis detail agar SOP bisa segera diimplementasikan," katanya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menindaklanjuti terhadap komunikasi yang dilakukan oleh Telegram tersebut. Diantaranya kemungkinan dibuatnya government channel (saluran pemerintah) agar komunikasi dengan Kementerian Kominfo lebih cepat dan efisien. Kementerian meminta diberikan otoritas sebagai Trusted Flager terhadap akun atau kanal dalam layanan Telegram.

Selain itu Kementerian juga meminta Telegram untuk membuka kantor perwakilan di Indonesia. Hal ini, menurut Dirjend Aplikasi dan Informatika Samuel A Pangerapan agar lebih memudahkan koordinasi dengan pihaknya terutama dalam penanganan konten negatif termasuk terorisme.

Sementara itu, Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Arief Dharmawan dalam Konferensi Pers di Gedung Kominfo Jakarta, mengatakan pemblokiran tersebut dibutuhkan mengingat banyaknya bukti konten terorisme yang disebarkan melalui aplikasi ini dan belum ada tindakan.

Untuk itu, menurut dia, pemblokiran tersebut merupakan peringatan agar Telegram turut serta dalam penanggulangan terorisme dan memenuhi ketentuan yang ada di Indonesia.

(T.M041/R010)

Pewarta: Muhammad Arief Iskandar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017