Kan waktu itu setelah KPK dapat aturan dari Mahkamah Agung untuk menyelasaikan tanggung jawab pidana korporasi, kami di KPK membentuk tim khusus untuk penyelidikan kasus-kasus yang berhubungan dengan tanggung jawab pidana korporasi."
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan pihaknya akan menyasar pada korporasi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).

"Ya kan setiap kasus itu bisa orangnya dulu bisa korporasinya dulu. Khusus KTP-e itu kan orangnya dulu. Kalau nanti seandainya dalam proses dilihat bahwa korporasinya berperan sangat penting, maka tidak tertutup kemungkinan KPK menyasar pada korporasinya," kata Syarif di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Lebih lanjuit, Syarif menyatakan bahwa KPK memang saat ini sudah mempunyai tim khusus untuk menanganai tindak pidana oleh korporasi.

"Kan waktu itu setelah KPK dapat aturan dari Mahkamah Agung untuk menyelasaikan tanggung jawab pidana korporasi, kami di KPK membentuk tim khusus untuk penyelidikan kasus-kasus yang berhubungan dengan tanggung jawab pidana korporasi," kata Syarif.

Sebelumnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada Kamis (20/7) menjatuhkan hukuman penjara tujuh tahun kepada mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan lima tahun penjara kepada mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto.

Putusan majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga menjelaskan sejumlah penerima aliran dana proyek KTP-Elektronik yang berasal dari anggota DPR, pengacara, anggota konsorsium, staf Kementerian Dalam Negeri hingga pihak-pihak lain.

"Sejak penganggaran dan pengadaan barang dan jasa KTP-E, terdakwa I Irman dan terdakwa II Sugiharto telah menerima uang sebagai berikut, pertama Irman menerima uang 300 ribu dolar AS yang berasal dari Andi Agustinus alias Andi Narogong dan 200 ribu dolar AS dari terdakwa II. Terdakwa II menerima 30 ribu dolar AS dari Paulus Tannos dan uang 20 ribu dolar AS yang berasal dari Johanes Marliem yang sebagian uang dibelikan Honda Jazz seharga Rp150 juta," kata anggota majelis hakim Anwar dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/7).

Selain kedua terdakwa, masih ada pihak-pihak lain yang memperoleh keuntungan yaitu:


1. Miryam S Haryani sejumlah 1,2 juta dolar AS

2. Diah Angraini 500 ribu dolar AS

3. Markus Nari 400 ribu dolar AS atau Rp4 miliar

4. Ade Komarudin 100 ribu dolar AS

5. Hotma Sitompul 400 ribu dolar AS

6. Husni Fahmi 20 ribu dolar AS dan Rp30 juta

7. Drajat Wisnu 40 ribu dolar AS dan Rp25 juta

8. Enam orang anggota panitia lelang masing-masing Rp10 juta

9. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam dan Darma Mapangara selaku direksi PT LEN masing-masing Rp1 miliar dan untuk kepentingan "gathering" dan SBI sejumlah Rp1 miliar

10. Beberapa anggota tim Fatmawati yaitu Jimmy Iskandar alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan masing-masing Rp60 juta

11. Mahmud Toha Rp30 juta

12. Manajemen bersama konsorsium PNRI Rp137,989 miliar

13. Perum PNRI Rp107,710 miliar

14. PT Sandipala Artha Putra Rp145,851 miliar

15. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding companty PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148,863 miliar

16. PT LEN Industri Rp3,415 miliar

17. PT Sucofindo sejumlah Rp8,231 miliar

18. PT Quadra Solution Rp79 miliar.


KPK sebelumnya memang menjelaskan akan menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi untuk memidanakan korporasi.

Perma itu mengindentifkasi kesalahan korporasi baik berbentuk kesengajaan maupun karena kelalaian yaitu pertama, apabila kejahatan dilakukan untuk memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi. Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, apabila korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan termasuk mencegah dampak yang lebih besar setelah terjadinya tindak pidana.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017