Pada hari ini penyidik melakukan penyitaan terkait dengan pengembalian uang oleh tersangka dalam jumlah 49 ribu dolar Singapura yang merupakan bagian dari indikasi suap yang diterima oleh tersangka."
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Biro Perencanaan dan Organisiasi Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Nofel Hasan, tersangka tindak pidana korupsi suap proyek "satellite monitoring" mengembalikan uang sebesar 49 ribu dolar Singapura ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Pada hari ini penyidik melakukan penyitaan terkait dengan pengembalian uang oleh tersangka dalam jumlah 49 ribu dolar Singapura yang merupakan bagian dari indikasi suap yang diterima oleh tersangka," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.

KPK pada Senin (24/7) memeriksa Nofel Hasan sebagai tersangka dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap proyek "satellite monitoring" di Bakamla RI Tahun Anggaran 2016.

Dalam penyidikan kasus tersebut terkait Nofel Hasan, KPK telah mencegah dua orang untuk ke luar negeri.

"Dalam penyidikan untuk tersangka Nofel Hasan (NH), KPK melakukan pencegahan ke luar negeri untuk dua orang untuk enam bulan ke depan sejak akhir Juni lalu ," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/7).

Dua orang yang dicegah itu, yakni anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi dan Managing Director PT ROHDE and SCHWARZ Indonesia Erwin S Arif.

"Dalam penanganan indikasi korupsi atau kasus suap di Bakamla tersebut, kami mulai mendalami beberapa informasi baru terkait dengan proses penganggaran," ucap Febri.

Sebelumnya, KPK juga telah memanggil dan memeriksa dua orang itu sebagai saksi dalam kasus tersebut.

KPK yang memeriksa Fayakhun pada Selasa (25/4) mengkonfirmasi terkait proses penganggaran proyek "satellite monitoring" tersebut.

Sebelumnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (17/7), mantan Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi divonis empat tahun tiga bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subider dua bulan kurungan karena terbukti menerima suap sebesar 88.500 dolar AS (Rp1,2 miliar), 10 ribu euro (Rp141,3 juta) dan 100 ribu dolar Singapura (Rp980 juta) dengan nilai total sekitar Rp2,3 miliar dari Direktur PT Merial Esa dan pemilik PT PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah dalam pengadaan "satellite monitoring".

Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi dalam dakwaan disebut sebagai orang yang pertama mengenalkan Fahmi dalam pengadaan proyek "satelite monitoring". Ali adalah staf khusus kepala Bakamla Arie Soedewo, Ali yang juga politisi PDI-P itu menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran dan bertemu Fahmi pada Maret 2016.

Pada saat itu, Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi untuk main proyek di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus memberikan "fee" sebesar 15 persen dari nilai pengadaan. Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan "monitoring satellite" awalnya senilai Rp400 miliar dan Ali meminta uang muka 6 persen dari nilai anggaran tersebut.

Fahmi lalu memerintahkan dua anak buahnya sebagai marketing/ operasional PT Merial Esa Hardy Stefanus dan bagian operasional PT Merial Esa sekaligus orang kepercayaan Fahmi M Adami Okta untuk memberikan enam persen dari Rp400 miliar yaitu Rp24 miliar ke Ali Fahmi pada 1 Juli 2016 di hotel Ritz Carlton Kuningan sehingga PT Melati pun ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan "monitoring satellite" pada 8 September 2016 dengan anggaran total Rp222,43 miliar.


Berbagai Fraksi

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) juga disebutkan bahwa peruntukan uang sebesar enam persen dari nilai proyek satmon sebesar Rp400 miliar yang diberikan kepada Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsy adalah untuk mengurus proyek melalui Balitbang PDI Perjuangan Eva Sundari, kemudian anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Bertus Merlas, anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Golkar Fayakun Andriadi, Bappenas dan Kementerian Keuangan.

Namun sampai hari Senin (17/7), keberadaan Ali Fahmi belum diketahui KPK. Selain Ali Fahmi, Eko juga mengaku Kabakamla Arie Sudewo yang memerintahnya untuk menerima uang.

"Pak Arie saya hanya diperintah untuk menerima ini. Itu saja," tambah Eko singkat.

Eko juga mengaku akan menerima putusan tersebut.

"Akan saya jalani, semoga ini menjadi pelajaran buat saya supaya ke depannya lebih baik lagi. Saya tidak banding, saya terima," tambah Eko.

Pemberian uang dilakukan pada 14 November, Adami datang ke kantor Bakamla untuk menyerahkan uang sejumlah 10 ribu dolar AS dan 10 ribu dolar euro berikut kertas catatan kecil mengenai perincian pengeluaran uang sebagai bagian 7,5 persen jatah Bakamla, uang itu diterima sendiri oleh Eko.

Pemberian kedua dilakukan pada 14 Desember 2016 oleh Adami dan Hardy di kantor Eko. Pada pertemuan itu Eko menerima penyerahan uang dari Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus sebesar 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS dalam amplop cokelat tidak lama, petugas KPK melakukan penangkapan.

Meski Eko Susilo menerima vonis, jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.

Terkait perkara ini, Adami dan Hardy sudah divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsider enam bulan kurungan sedangkan Fahmi divonis dua tahun dan delapan bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017