Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertanian Amran Sulaiman menegaskan langkah yang diambil terkait penggrebekan PT Indo Beras Unggul (IBU) beberapa waktu lalu sebagai upaya untuk menstabilkan harga bahan pangan.

"Kami bersama Satgas Pangan ingin menstabilkan harga bahan pangan seperti yang terjadi pada Ramadhan dan Idul Fitri. Salah satunya dengan memperbaiki rantai pasok atau supply chain tata niaga," katanya seusai menggelar pertemuan dengan Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj di Kementerian Pertanian Jakarta, Selasa.

Dengan melakukan perbaikan pada tata niaga, lanjutnya, petani diharapkan bisa memperoleh keuntungan yang baik karena disparitas harga juga dapat dikendalikan, mengingat disparitas harga beras kurang lebih mencapai 100 persen.

Amran menyatakan, masalah disparitas juga pernah dialami pada komoditas cabai rawit merah, bawang merah dan bawang putih namun kini telah teratasi. Tapi kini, pemerintah, lanjut dia, tengah menghadapi masalah disparitas beras.

"Ini (perbaikan tata niaga) adalah solusi permanen untuk pangan Indonesia, solusi permanen untuk pangan Indonesia," ujar menteri.

Terkait dengan perusahaan yang diperkirakan membeli gabah/beras jenis varietas VUB dari petani, penggilingan, pedagang, selanjutnya dengan prosessing/ diolah menjadi beras premium dan dijual dalam kemasan 5 kg atau 10 kg ke konsumen harga Rp23.000-26.000/kg, menurut hitungan Kementan terdapat disparitas harga beras premium antara harga di tingkat petani dan konsumen berkisar 300 persen.

Berdasarkan temuan di beberapa "supermarket" atau pasar swalayan harga beras, cap Ayam Jago jenis pulen wangi super dan pulen wangi Giant Cilandak, Jakarta Selatan masing-masing Rp25.380 per kg dan Rp21.678 per kg.

Pasar Swalayan Kemayoran, Jakarta Utara Rp23.180 per kg kemudian di Malang Town Square, ayam jago beras pulen wangi super mencapai Rp26.305 per kg.

"Sementara dijumpai perusahaan lain membeli gabah ke petani dengan harga yang relatif sama, diproses menjadi beras medium dan dijual harga normal medium rerata Rp10.519/kg beras. Diperkirakan disparitas harga beras medium ini di tingkat petani dan konsumen Rp3.219/kg atau 44 persen," paparnya.

Mentan menyatakan, nilai ekonomi bisnis beras secara nasional mencapai Rp484 triliun sementara untuk memproduksi beras tersebut biaya petani Rp278 triliun dan memperoleh marjin Rp65,7 triliun.

Sedangkan pada sisi hilir, konsumen membeli beras kelas medium rerata saat ini Rp10.519/kg setara Rp484 triliun, dan bila konsumen membeli beras premium maka angkanya jauh lebih tinggi lagi.

Sementara pedagang perantara atau "middleman" setelah dikurangi biaya proses, pengemasan, gudang, angkutan dan lainnya Kementan memperkirakan memperoleh marjin Rp133 triliun.

Melihat kesenjangan profit marjin antara pelaku ini tidak adil, di mana keuntungan produsen petani sebesar Rp65,7 triliun ini bila dibagi kepada 56,6 juta anggota petani padi, maka setiap petani hanya memperoleh marjin Rp 1 juta-2 juta per tahun.

Sementara setiap pedagang/middleman secara rata-rata memperoleh Rp133 triliun dibagi estimasi jumlah pedagang 400 ribu orang, sehingga rata-rata per orang Rp300-an juta per pedagang.

"Keuntungan tersebut adalah rata-rata, ada yang mendapat keuntungan sangat besar ada yang mendapat keuntungan sangat kecil. Satgas pangan menginginkan keuntungan terdistribusi secara adil dan proporsional kepada petani, pedagang beras kecil dan melindungi konsumen," tuturnya.

Terkait penanganan pelanggaran hukum yang dituduhkan pada PT IBU, Amran menyerahkan masalah hukum perusahaan tersebut kepada penegak hukum, sedangkan disparitas harga ditangani oleh tim Satgas Pangan, sementara produksi pangan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian.

"Masalah hukum serahkan ke penegakan hukum, masalah PT IBU itu bukan domain kita," ujarnya.

Pewarta: Subagyo
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017