Jarum jam pada sore itu menunjuk angka 16.30 saat orang-orang duduk bermalas-malasan di atas sofa empuk yang dikelilingi dinding kaca.

Ada yang memaksakan diri memejamkan mata, meskipun tidak dibuai kantuk. Sebagian lagi menyibukkan diri dengan gawai di tangannya masing-masing.

Pekerjaan tidak berarti itu hanya untuk membunuh kegelisahan selama masa dua jam penantian.

Pemandangan berbeda terlihat di atas kapal-kapal yang sedang bersandar di dermaga Sungai Mutiara.

Para pramuwisata tampak kesetanan diburu waktu. Tidak sedetik pun mereka berleha-leha. Meja, kursi, dan perkakas lain di atas kapal tak luput dari sentuhan nan cekatan tangan-tangan mereka.

Ketika pelantang di dermaga memecah kegelisahan, orang-orang bergegas menuruni anak tangga menuju banjar antrean di lantai dasar.

Masa penantian 2,5 jam lebih seakan terbayar mana kala sudah memasuki kapal kayu berbadan besar.

Hiasan kulit kerang berbentuk naga menyambut para wisatawan di dek kedua yang berbeda dengan dua dek lain di atas dan di bawahnya.

Di atas meja bundar yang masing-masing dikelilingi lima hingga enam kursi tersajikan buah-buahan segar.

Dalam waktu sekejap, buah-buahan itu ludes oleh wisatawan yang sudah lama menahan lapar.

Pramusaji pun menggantinya dengan gelas-gelas kristal yang tak lama kemudian terisi bir kuning bening untuk melepas dahaga.

Tak berselang lama disusul "makanan berat" yang tentu saja sangat dinantikan oleh para penumpang kapal itu.

Menu makanan berat tidak seperti yang disajikan di restoran-restoran mewah di daratan Tiongkok.

Suguhannya pun tidak model prasmanan melingkar, melainkan sudah tersaji di atas piring masing-masing berupa nasi, irisan daging ayam, telur mata sapi, dan irisan jagung rebus. Sup disuguhkan tersendiri dalam wadah mangkuk kecil.

Menu mirip nasi rames itu terbilang sangat sederhana untuk ukuran gaya hidup masyarakat China, apalagi untuk suguhan wisatawan mancanegara.

Namun menyantap makanan tersebut di atas kapal yang sedang mengarungi aliran sungai membelah Kota Guangzhou itu menjadi pengalaman tersendiri sehingga mereka rela antre berjam-jam lamanya dengan tiket yang tentu saja tidak murah.




Bermandikan cahaya

Jika dibandingkan dengan sungai-sungai besar di Indonesia, maka Sungai Mutiara di Ibu Kota Provinsi Guangdong itu tidaklah jauh berbeda.

Indonesia punya Sungai Musi di Sumatera Selatan yang melegenda karena Jembatan Ampera-nya di Palembang.

Ada juga Bengawan Solo yang dikenal hingga mancanegara karena tembang ciptaan Gesang juga Taman Jurugnya di kota kelahiran Presiden Joko Widido itu.

Demikian pula dengan Sungai Berantas yang melintasi berbagai wilayah di Jawa Timur tidak kalah menarik karena ada taman Waduk Lodoyo di Blitar, kafe Brantas di Kota Kediri, dan Bendung Gerak di Kabupaten Kediri.

Potensi sungai-sungai itu tidaklah kalah dengan Sungai Mutiara yang kalau hujan deras airnya juga keruh.

Bahkan kejernihan airnya juga masih kalah dengan Sungai Haihe di Tianjin yang sebentar lagi menjadi ajang pekan olahraga nasional China.

Namun Pemerintah Kota Guangzhou sangat memahami potensi sungai yang oleh masyarakat dinamai "Zhujiang" itu.

Untuk mendatangkan para pelancong dari berbagai negara, pemerintah kota setempat tidak perlu menggarap seluruh bagian di sepanjang aliran sungai 2.400 kilometer itu.

Mereka sadar orang asing yang datang ke Guangzhou bukan sekadar berwisata. Apalagi Guangzhou dikenal hingga mancanegara sebagai salah satu pusat perdagangan global sehingga sangat kecil kemungkinan orang menghabiskan waktu berlama-lama di kota itu, kecuali untuk urusan bisnis.

Boleh dibilang yang dijual hanya tiket makan malam yang harganya ditawarkan kepada turis mancanegara antara 35 hingga 50 dolar AS.

Tiket itu pun kebanyakan terjual secara online. Jadi, jangan harap bisa makan malam di atas kapal sekelas kapal pesiar itu jika membeli tiket secara langsung atau "go show" di loket dermaga.

Makan malam pun tidak perlu lama-lama kalau tidak ingin kehilangan momentum penting di dek paling atas.

Kapal berhenti sejenak saat persis berada di Canton Tower. Gedung setinggi 595,7 meter pada petang hari itu lebih indah daripada aslinya yang hanya berupa bentangan baja saling ikat antara satu dengan lainnya yang bentuknya mirip dengan kaldron di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan.



Saat matahari benar-benar tenggelam, gedung yang oleh masyarakat setempat disebut dengan "Guangzhou Ta" itu bermandikan cahaya warna-warni sehingga menambah daya pikat pelancong.

"Wonderful," ucap Asfandyar Khan, wisatawan asal Islamabad, Pakistan, singkat.

Di situlah puncak sensasi tersebut. Selebihnya dalam sisa perjalanan berikutnya, para pelancong disuguhi pemandangan gedung-gedung menjulang berkelip di tepian sungai dan jembatan seperti yang ada di Shanghai dan Tianjin.

Setelah lampu-lampu gedung itu padam, hanya tarikan dawai kecapi gadis lokal yang mengantarkan kapal itu kembali merapat di dermaga.

Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017