Jakarta (ANTARA News) - Penanaman Kemiri Sunan menjadi aksi nyata untuk mencegah perubahan iklim dan memperbaiki alih tataguna lahan sekaligus mendukung pengembangan energi terbarukan.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sarwono Kusumaatmadja menyatakan saat ini negosiasi pengendalian perubahan iklim terus berlangsung di forum internasional. Meski demikian, Indonesia tidak boleh menunggu negosiasi tuntas dan harus mengambil peran dalam upaya pengendalian perubahan iklim.

"Penanaman pohon yang melibatkan masyarakat adalah contoh bagus aksi di tingkat lokal yang berdampak global. Ini harus kita teruskan," katanya saat melakukan penanaman Kemiri Sunan di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang dikelola Universitas Tanjungpura di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Senin.

Pada kesempatan itu turut hadir Gubernur Kalimantan Barat Cornelis dan Bupati Landak Karolin Margret Natasa, serta Staf Ahli Menteri bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian LHK Agus Justianto

Sarwono menyatakan, penanaman yang dilakukan masyarakat Indonesia saat ini akan berdampak 5-6 tahun ke depan. Pada saat itu, bukan hanya masyarakat yang akan diuntungkan, tetapi dunia global akan memberi pengakuan atas upaya yang dilakukan Indonesia.

Penanaman kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) dilakukan di areal seluas 4 hektare untuk tahap pertama dan bisa dilanjutkan pada titik yang terdegradasi. Penanaman tersebut diharapkan bisa berkontribusi untuk mempertahankan KHDTK yang dikelola Universitas Tanjungpura yang merupakan benteng alam bagi Cagar Alam Mandor, yang menjadi rumah bagi satwa endemik orangutan.

Agus Justianto menjelaskan, pasca Persetujuan Paris, Indonesia telah mencanangkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29 persen pada 2030 mendatang atau 41 persen dengan dukungan pemangku pihak internasional. Untuk itu upaya-upaya terkait pengurangan dan penyerapan emisi GRK perlu terus dilakukan.

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki target untuk meningkatkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 mendatang, padahal, saat ini bauran energi terbarukan baru berkisar 5-6 persen.

"Pengembangan kemiri sunan bisa menjawab dua kebutuhan tersebut," kata Agus.

Penasehat Independen Yayasan Belantara Tachrir Fathoni mengungkapkan, tanaman kemiri sunan layak dilirik karena bisa ditanam di lahan marjinal, seperti penanaman di KHDTK yang dikelola Universitas Tanjungpura dilakukan di lahan gambut.

Biji kemiri sunan dapat diolah untuk menghasilkan minyak sebagai bahan baku biodiesel. Hasil penelitian di Sukabumi mengungkapkan, dari sisi produktivitas minyak, kemiri sunan lebih baik dari tanaman penghasil minyak nabati lain, seperti sawit, jarak pagar atau nyamplung.

Kemiri Sunan sudah mulai berbuah sejak umur 4 tahun dan mulai mencapai puncak berbuah pada umur 8 tahun, selain itu produktivitas bijinya bisa berkisar 50-300 kilogram (kg) per pohon per tahun.

Sementara rendemen minyak kasar yang dihasilkan bisa mencapai 52 persen yang mampu diolah menjadi biodiesel hingga 88 persen dan sisanya berupa gliserol.

Berdasarkan perhitungan Kementerian Pertanian, setiap hektare kemiri sunan dengan 100-150 pohon, bisa menghasilkan 6-8 ton biodiesel per tahun, sehingga bisa mengurangi ketergantungan kepada pada bahan bakar fosil yang melepas emisi GRK dalam jumlah besar.

(T.S025/B012)

Pewarta: Subagyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017