Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi positif terkait sikap Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menolak nota keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh anggota DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani.

"Tentu saja bagi kami ini adalah hal yang positif, ke depan proses persidangan kasus dengan terdakwa Miryam S Haryani ini akan masuk ke tahap pembuktian," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.

Febri mengatakan KPK akan menghadirkan bukti-bukti yang ada termasuk rekaman proses pemeriksaan Miryam S Haryani yang sempat menjadi persoalan sebelum kasus Hak Angket KPK di DPR dimunculkan.

"Jadi, kalau-kalau ada pihak-pihak tertentu yang ingin membuktikan dan ingin mendengar apa yang disampaikan pada proses pemeriksaan Miryam S Haryani dalam kasus KTP-e maka pengadilan adalah tempat yang paling tepat karena memang proses hukum harus dipisahkan dari proses politik," tuturnya.

Febri menyatakan, KPK akan menghadirkan bukti-bukti dan juga saksi-saksi yang pernah juga diperiksa sebelumnya pada penyidikan.

"Mulai dari saksi dari internal KPK sendiri karena memang kasus ini adalah kasus indikasi pemberian keterangan tidak benar," kata Febri.

Terkait kemungkinan dipanggilnya penyidik KPK, Novel Baswedan, Febri menyatakan bahwa KPK akan melihat apa yang hakim butuhkan dalam proses pemeriksaan saksi terhadap Miryam S Haryani tersebut.

Selanjutnya, kata dia, KPK juga ingin membuktikan bagaimana proses pemeriksaan Miryam S Haryani pada saat itu terjadi termasuk video-video pemeriksaan terhadap yang bersangkutan.

"Dan juga saksi dari pihak eksternal lainnya yang pernah diperiksa sebelumnya di tingkat penyidikan," kata Febri.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak nota keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh anggota DPR dari fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani.

"Mengadili, menolak keberatan tim penasihat hukum Miryam S Haryani untuk seluruhnya," kata ketua majelis hakim Franky Tambuwun dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.



Nota Keberatan

Sebelumnya Miryam mengajukan nota keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang mendakwanya memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan.

"Penasihat hukum mengatakan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan Miryam merupakan kewenangan peradilan umum. Bukan tipikor karena pasal 22 di UU Pemberantasan Tipikor."

Tapi majelis hakim tidak sependapat karena penasihat hukum menafsirkan sendiri.

"Terkait perkara pokok belum berkekuatan hukum tetap atas terdakwa Irman dan Sugiharto majelis juga tidak sependapat karena untuk mengajukan orang sebagai terdakwa seusai pasal 22 tidak ada ketentuan dalam UU yang menyatakan harus menunggu perkara lain maka karena hal itu tidak beralasan hukum dan harus ditolak," kata Franky.

Dakwaan penuntut umum nomor 40/4/07/2017 tanggal 3 Juli 2017 telah memenuhi syarat formal dan material sesuai dengan ketentuan pasa 143 ayat 2 huruf a dan b KUHP dan sah menurut hukum serta dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara.

Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh tiga penyidik KPK.

Padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar. Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis, 23 Maret 2017.

Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017, JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama tiga penyidik, yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik.

Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengancaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi.

Lebih lanjut diterangkan dalam empat kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keterangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.

Setelah mendengar keterangan tiga penyidik KPK, hakim kembali menanyakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut.

Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa menandatangani BAP sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.

Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

(T.B020/S023)

(Baca: Hakim tolak keberatan Miryam Haryani)

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017