Washington (ANTARA News) - Pasukan Amerika Serikat yang didiagnosis menderita depresi atau sindrom stres pascatrauma (post-traumatic stress syndrome/PTSD) dan berisiko tinggi bunuh diri, tidak mendapatkan perawatan tepat, menurut sebuah studi yang dirilis Senin (7/8).

Hanya 30 persen tentara yang mengalami depresi dan 54 persen dengan PTSD mendapat perawatan yang tepat, menurut laporan berjudul "Care for PTSD and Depression in the Military Health System".

Sekitar 2,6 juta tentara AS dikirim ke zona tempur di Afghanistan dan Irak antara 2001 dan 2014. Laporan tersebut memperkirakan setidaknya empat persen dan hingga seperlima dari mereka telah terpengaruh oleh stres pascatrauma.

Tingkat bunuh diri pasukan AS berlipat ganda antara 2005 dan 2012, dan stabil setelahnya, meskipun angkanya tidak berkurang, menurut laporan USA Today mengutip Pentagon. Tingkat bunuh diri mereka tetap sekitar 20 per 100.000 orang.

"Kami ingin memastikan mereka terhubung dengan perawatan kesehatan perilaku," kata Kimberly Hepner, penulis utama laporan ini dan seorang ilmuwan perilaku senior di RAND, sebuah organisasi riset non-partisan dan non-profit.

"Tindakan paling cepat -- perlucutan senjata api -- dapat membantu mengurangi risiko usaha bunuh diri," kata Hepner. Data Pentagon menunjukkan senjata menyumbang 68 persen kasus bunuh diri oleh pasukan aktif pada tahun 2014.

Selain itu, sepertiga pasukan dengan PTSD diberi resep benzodiazepin, obat anti-kecemasan yang dianggap berbahaya bagi kondisinya.

"Temuan dan rekomendasi laporan sedang dikaji dan akan digunakan untuk membentuk arah masa depan kita untuk memastikan kita memperbaiki perawatan pasien," kata juru bicara Pentagon Laura Ochoa.

Laporan tersebut, yang ditugaskan oleh Pentagon dan dilakukan oleh Rand Corp, telah meninjau kembali kasus 39.000 tentara yang didiagnosis dengan depresi, PTSD atau keduanya pada tahun 2013, demikian Xinhua.

Penerjemah: Try Reza Essra
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017