Raden Inu Kertapati dari Kerajaan Jenggala dijodohkan oleh Dewi Galuh Chandra Kirana (Dewi Sekartaji) dari Kerajaan Panjalu yang tak lain adalah sepupunya.

Namun ibu suri Dewi Sekartaji, Padukaliku yang telah membunuh ibu kandung Dewi Galuh tak menyetujui perjodohan tersebut karena dia ingin Raden Inu Kertapati diojodohkan dengan anaknya yang bernama Galuh Ajeng.

Suatu saat, Raden Inu Kertapati mengirimkan dua boneka, yang satu dari emas dan dibalut dengan kain blacu dan satu lagi boneka dari perunggu yang dibalut dengan kain sutra.

Sesampainya boneka itu, Galuh Ajeng memilih boneka berbalut sutra, sementara Dewi Sekartaji memilih boneka satunya. Kecewalah Galuh Ajeng setelah mengetahui boneka yang dimilikinya tak sebagus miliki Dewi Sekartaji.

Galuh Ajeng pun merebut boneka tersebut, dan terjadilah pertengkaran antara dua saudara,sehingga ayah mereka Prabu Lembu Amerdadu yang mendengar hal tersebut kemudian mengusir Dewi Sekaratji, dan dia pun pergi ke hutan.

Raden Inu Kertapati yang telah jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji pergi mencarinya, berbagai peristiwa mereka lalui mulai dari penyamaran, petualangan hingga peperangan ditempuh untuk menemukan kekasih hati.

Akhirnya kedua insan tersebut pun bertemu kembali dan menjadi sepasang suami-istri.

Kisah Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji merupakan cerita lokal yang ada sejak 1276 dari Kediri, Jawa Timur.

Menariknya, kisah yang dikenal dengan cerita Panji itu terkenal dan diadaptasi ke seluruh penjuru Nusantara seperti di Bali,Lombok, Sulawesi Selatan dan lainnya, meski epos Ramayana dan Mahabrata sudah ada.

Pada abad 19, cerita tersebut menyebar ke negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand Vietnam, Laos, Myanmar dan juga Kamboja.

Maka tak heran, jika naskah Panji dapat dijumpai dengan judul berbeda disetiap daerah, misalnya di Bali naskah Panji dikenal sebagai Malat, di Bugis namanya menjadi Cekele, di Malaysia menjadi Hikayat, di Kamboja menjadi Eynao dan di Thailand menjadi Inau.

Cerita Panji, menjadi bukti bahwa negara-negara Asia Tenggara telah terikat sejak ratusan tahun lalu melalui sastra.

Peneliti sekaligus Direktur KITLV Jakarta, Prof. Roger Tol mengatakan ada ratusan manuskrip cerita Panji yang dituliskan dalam beberapa bahasa. Setidaknya ada 10 bahasa manuskrip tentang cerita Panji yang ditulis dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Jawa, Bali, Melayu, Aceh, Sasak, Sumba, Bugis, Thai, Khmer dan Lao.

Naskah-naskah itu juga ditulis di media yang berbeda, seperti di daun lontar, di taluang (kulit kayu yang ditumbuk kemudian dijadikan untuk bahan manuskrip), dan kebanyakan ditulis di atas kertas yang diimpor dari Eropa.

"Manuskrip tersebut adalah bukti bahwa cerita Panji mengalami pengembaraan yang luas, hampir keseluruh Asia Tenggara," kata Roger.

Naskah ini pun memiliki nama yang berbeda, misalnya naskah koleksi Perpustakaan Nasional Kamboja bernama "Inau Puspa" ditulis dalam bahasa dan aksara Khmer.

Kemudian, naskah Panji Anggraeni milik Perpustakaan Nasional Indonesia ditulis dengan bahasa dan tulisan Jawa di atas kertas Eropa, naskah ini menjadi salah satu naskah Panji yang langka karena tak hanya berisi teks tetapi juga ada ilustrasi di bawahnya.

Perpustakaan Universitas Leiden,Belanda memiliki naskah Malat dari Bali yang ditulis pada 1725 di atas daun lontar, menggunakan bahasa dan tulisan Bali, dan ini merupakan Malat tertua di dunia.

Di tanah Melayu, cerita Panji memiliki nama Hikayat Cekel Wandeng Pati, ditulis di Batavia pada 1821 dengan aksara Jawi, menariknya pada halaman pertama dan kedua manuskrip tersebut dilukis hiasan dipinggir kertasnya.

Naskah Melayu ini kemudian diadaptasi menjadi Cekele, yang menjadi cerita Panji versi Bugis, ditulis pada 1870.

Menurut Roger, tidak ada cerita yang memilki variasi yang besar seperti cerita Panji, meski bervariasi setiap versi memiliki inti cerita sama.

"Isi cerita cukup sederhana, intinya tentang cerita cinta, setiap cerita punya bungkus berbeda-beda, bahkan nama tokoh dan negara bisa berubah, di satu versi mungkin ada cerita tentang reinkarnasi. Hal itu menjadi menarik dan melahirkan kekayaan dan keanekaragaman untuk cerita Panji," kata Roger.

Pengamat cerita Panji dari Malaysia, Prof. Nooriah Mohamed mempunyai anlisis mengapa cerita Panji ini begitu populer dan diadaptasi oleh bangsa lain pada saat itu, salah satunya karena cerita Panji adalah kisah cinta dua sejoli yang berupaya melewati segala rintangan untuk bersama.



Universal

"Cerita cinta dari dulu hingga sekarang menjadi cerita yang universal, tokoh Raden Inu Kertapati dan Dewi Galuh berusaha melewati rintangan untuk bersatu kembali, hal-hal yang dialami kedua tokoh ini juga terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Sebab itu cerita ini menjadi populer," kata Noor.

Tak hanya cinta antara laki-laki dan perempuan, cerita Panji pun memiliki dimensi cinta yang lain seperti cinta kepada Tuhan, kepada saudara dan juga kepada orang tua.

Meski memiliki versi yang berbeda-beda, Noor mengatakan ada benang merah diantara semua versi cerita Panji, seperti tokoh utama haruslah keturunan dewa-dewi, para tokoh diturunkan di dunia dan menyangkut empat negara atau kerajaan, ada kisah cinta yang tidak diretusi, kemudian para tokoh berkelana, ada peperangan dan melakukan penyamaran, terakhir ceritanya memiliki akhir bahagia.

Tak hanya dalam bentuk manuskrip, cerita Panji pun kemudian menjelma dalam bentuk ungkapan seni lain seperti seni tari, seni wayang, seni pentis, seni topeng dan diukir di berbagai relief candi.

(Baca: Budaya Panji ditampilkan dalam rangkaian ASEAN Literary Festival)

Sebagai Ingatan Kolektif Dunia
Pada 2016, Perpustakaan Nasional bersama Perpustakaan Nasional Kamboja (Sala Rachana), Perpustakaan Negara Malaysia dan Universitas Leiden telah mendaftarkan naskah Panji sebagai Ingatan Kolektif Dunia untuk kategori naskah kuno ke UNESCO yang hasilnya akan diketahui Oktober 2017.

Perpustakaan Nasional mengajukan 76 naskah Panji, Kamboja mengajukan satu naskah, Malaysia mengajukan lima naskah, sementara Universitas Leiden mengajukan 250 naskah yang ditulis dalam delapan bahasa.

Pengamat budaya Wardiman Djojonegoro mengatakan ada beberapa hal yang membuat cerita Panji ini diajukan sebagai Ingatan Kolektif Dunia (Memory of the World), antara lain budaya Panji mempunyai dampak budaya besar tidak hanya kepada Bali dan Melayu tetapi dampak itu menyebar hingga ke Asia Tenggara.

Pada saat itu cerita Ramayana dan Mahabrata meluas, tetapi cerita Panji yang merupakan cerita lokal tetap populer hingga tujuh abad lamanya.

"Naskah Panji ini menunjukkan sebuah pertukaran nilai kemanusiaan, selama waktu tertentu atau dalam sebuah wilayah budaya di dunia, dalam perkembangan arsitektur, teknologui, seni yang monumental, tata kota atau desain lanskap," kata Wardiman.

Didaftarkannya naskah Panji sebagai Ingatan Kolektif Dunia, bukan berarti pelestarian budaya Panji tidak perlu dilakukan.

Menurut Wardiman, masyarakat harus terus melakukan revitalisasi budaya dan seni Panji sebagai ungkapan kebanggan dan apresiasi akan warisan nenek moyang kita.

"Saat ini budaya Panji mulai memudar, penggemarnya berkurang, karena terdesak oleh budaya luar dan oleh teknologi komunikasi yang kuat," kata dia.

Untuk mempopulerkan kembali Panji maka Indonesia perlu membangun "industri budaya" dengan memperhatikan para kreator dalam hal ini pelaku seni dan budayawan, permisa dan mengkaitkan kebangkitan Panji dengan fungsi ekonomi dan pariwisata.

"Potensi budaya Panji untuk kembali populer dan disukai oleh masyarakat sangat besar, karena alur ceritanya tentang percintaan, perkelanaan dan petualangan adalah universal, sehingga dapat digemari oleh orang tua dan anak muda," kata dia.

Oleh sebab itu, narasi Panji disetiap pagelaran baik tari, wayang, topeng dan lainya perlu disesuaikan dengan selera masa kini. 

Pewarta: Aubrey Kandella Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017