Sekalipun terus-menerus "dihajar" oleh ulah segelintir anggota Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR yang tergabung dalam panitia khusus DPR tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ternyata komisi antirasuah itu tetap maju terus pantang mundur alias perkasa.

Pada hari Rabu (23/8) malam di sebuah mess Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Jalan Gunung Sahari, Jakarta, sejumlah penyidik KPK menemukan 10 kantong berisi uang. Uang tersebut diduga keras merupakan hasil korupsi yang diberi istilah keren gratifikasi atau tak lain dari penyuapan untuk pejabat tinggi Kementerian Perhubungan. Selain uang, juga ditemukan kartu anjungan tunjangan mandiri alias ATM.

"Disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan proyek-proyek barang dan jasa yang diduga dilakukan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono (ATB)," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan kepada wartawan, Kamis (24/8) malam.

Berita besarkah ini?

Tentu saja berita model begini akan terus menjadi sorotan atau gunjingan sebagian besar rakyat Indonesia karena dugaan korupsi ini dilakukan oleh pejabat tinggi negara yang tingkat jabatannya sudah mencapai seorang direktur jenderal. Yang tak kalah mencengangkan adalah kasus dugaan korupsi ini sudah sekitar tujuh bulan diintai oleh para penyidik KPK.

Rakyat tentu tidak bisa melupakan bahwa operasi Saber Pungli alias Sapu Bersih Pungutan Liar yang dicetuskan Presiden Joko Widodo justru berawal dari penyelidikan di kantor pusat Kementerian Perhubungan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Saat itu, yang ditangkap oleh para petugas hukum itu adalah karyawan-karyawan "kelas teri" bahkan termasuk petugas honorer.

Namun rupanya langkah itu tidak hanya berhenti pada kasus penggerebekan sesaat tersebut, sehingga setelah bekerja keras siang malam tanpa lelah kurang lebih selama tujuh bulan, akhirnya ditemukan fakta dan data bahwa Dirjen Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono berindikasi menerima uang suap kurang lebih Rp20 miliar sehingga kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Uang itu dalam bentuk rupiah, dolar Amerika Serikat dan ringgit Malaysia, sehingga bisa dibayangkan betapa nikmatnya sang dirjen ini jika "proyeknya" tak diincar oleh KPK karena dia bisa sepuas hati menikmati uang haram tersebut.

Proyek-proyek yang disangkakan terhadap tuan dirjen ini berkaitan dengan pembangunan proyek di Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, ibu kota Jawa Tengah. Sementara itu, kasus korupsi yang didakwakan terhadap segelintir anak buah Dirjen Perhubungan Laut itu menyangkut pemberian surat izin bagi para pekerja sektor kelautan.

Sekalipun pelanggaran yang disangkakan terkait proyek atau proyek-proyek di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, tidak tertutup kemungkinan adanya proyek lain yang juga sedang "digarap" oleh Tonny Antonius Budiono.

Selain peristiwa menggegerkan ini menyangkut seorang dirjen, yang tak kalah memalukannya adalah kasus tersebut terjadi pada bulan Agustus saat bangsa Indonesia sedang bergairah merayakan Hari Ulang Tahun Ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia, yang juga "pasti dirayakan" oleh yang terhormat Dirjen Perhubungan Laut dan segelintir anak buahnya itu.

Pada masa lalu, masyarakat sudah "sangat terbiasa" mendengar kasus korupsi yang terbongkar menyangkut pejabat pejabat negara mulai dari bupati, wali kota, gubernur, anggora DPR, DPRD, Dewan Perwakilan Daerah, hingga tingkat menteri.

Nama Surya Dharma Ali yang merupakan mantan menteri agama dan juga mantan ketua umum sebuah partai politik yang berazaskan agama akhirnya "menikmati" aroma penjara. Ia dituduh ikut "menikmati" biaya penyelenggaraan ibadah haji atau BPIH dan mengajak orang-orang terdekatnya untuk menunaikan ibadah haji. Hal itu tentunya masih diingat oleh sebagian rakyat Indonesia.

Juga ada nama Andi Alifian Mallarangeng yang pada saat menjadi menteri pemuda dan olahraga juga dituduh menikmati uang haram terutama dana pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.



Masih kurang uangkah?

Sementara itu, rakyat di Tanah Air juga pasti tak akan melupakan nama-nama tokoh di bidang legislatif dan yudikatif mulai dari Akil Mochtar yang saat memimpin lembaga negara Mahkamah Konstitusi terbukti secara meyakinkan secara hukum menerima uang dalam kasus yang menyangkut penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Kalimantan Tengah dab daerah lainnya.

Sementara itu, Patrialis Akbar yang juga merupakan mantan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi seperti halnya Akil Mochtar juga sedang menjalani persidangan atau proses "meja hijau", lagi-lagi diduga terlibat gratifikasi kasus hukum.

Bahkan Irman Gusman yang pernah memimpin Dewan Perwakilan Daerah alias DPD harus masuk bui karena menerima uang yang jumlahnya "hanya" Rp100 juta dari seorang pengusaha yang berniat mendapat izin dari Perusahaan Umum Bulog agar bisa mendapat izin ikut mengimpor sejenis barang dari negara lain.

Belum lagi mantan anggota DPR mulai dari Mohammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Damayanti yang semuanya tak terlepas dari kasus "fulus" atau uang korupsi. Bahkan sejumlah panitera pengganti di berbagai pengadilan negeri mulai dari Jakarta Utara hingga Pengadilan Jakarta Selatan yang semuanya diseret ke pengadilan karena menerima uang walaupun jumlahnya "jauh kalah besar" dari kasus Dirjen Perhubungan Laut.

Yang bisa dilakukan oleh mayoritas rakyat Indonesia hanya mengurut dada jika mendengar kasus demi kasus korupsi yang dilakukan mulai dari petugas dan pejabat pemerintah "kelas teri" hingga pejabat negara seperti Angelina Sondakh, Akil Mochtar, Surya Dharma Ali serta Andi Mallarangeng.

Pada benak rakyat yang muncul apakah para pejabat itu sudah benar-benar kekurangan uang sehingga harus korupsi untuk "menutupi" kebutuhan mereka dan keluarganya, padahal para pejabat sudah menikmati berbagai fasilitas yang diberikan oleh rakyat melalui pemerintah yang tentunya sesuai dengan posisi mereka di negara yang tercinta ini.

Dirjen Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono dan Angelima Sondakh serta Akil Mochtar, misalnya pasti sudah terbiasa menerima setumpuk fasilitas mewah mulai dari gaji yang jumlahnya pasti puluhan juta rupiah tiap bulannya. Belum lagi ada mobil dinas, rumah jabatan, uang dinas ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Belum lagi jika berkunjung ke daerah, maka pasti mendapat sambutan meriah.

Belum lagi di kantornya masing-masing sudah tersedia sekretaris yang tinggal disuruh-suruh ke mana pun juga sehingga yang akan timbul pada pikiran rakyat adalah, apakah 1001 fasilitas aduhai ini masih kurang juga ataukah mereka itu merupakan pejabat yang tak lebih dari seorang pembegal di jalan ataupun perampok?

Kasus demi kasus hukum itu seharusnya menyadarkan pejabat pada jenjang atau level apa pun juga bahwa jika seorang pencopet, pembegal praktis melanggar hukum karena "kantongnya" kosong maka para pejabat negara itu pasti bukan karena kekurangan uang.

Kalau begitu kenapa kasus korupsi terus terjadi?

Bisa saja para pejabat kotor ini harus "menyetor" uang ke atasannya mulai dari pimpinan partai politik, kementerian hingga ingin "mencari sekadar tambahan" agar jika nanti sudah pensiun maka masih bisa hidup tenang dari uang "tabungannya".

Karena itu, pengangkatan pejabat pada jenjang apa pun juga seharusnya lebih ketat, misalnya dengan mengikutsertakan pakar psikologi agar bisa diketahui kenapa seseorang itu berniat atau bahkan berambisi menjadi pejabat negara.

Rakyat pasti sudah bosan bahkan muak jika setiap hari harus mendengar ada lagi pejabat yang lagi-lagi didakwa melakukan korupsi dengan gampangnya, padahal puluhan juta orang Indonesia tiap hari harus benar-benar banting tulang untuk mencari uang mulai dari sekadarnya Rp5.000, Rp10.000 hingga Rp50.000 untuk menghidupi keluarganya agar bisa hidup tenang.

Kapankah Indonesia bisa bebas dari kasus korupsi, gratifikasi atau apa pun istilahnya?

Oleh Arnaz Firman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017