Ada nilai pengorbanan yang pantas dikagumi pada orang-orang, besar maupun kecil, yang keseharian hidupnya secara sadar mempertimbangkan kelestarian lingkungan, kesintasan bumi.

Ketika lingkungan hidup, terutama di perkotaan, semakin tercemar sehingga kualitas tanah dan udara merosot tajam, yang dibutuhkan adalah perilaku individual dalam skala massal yang bersahabat dengan lingkungan.

Tak perlu lagi menjadi seorang yang tahu betul ilmu hayat untuk berperilaku ramah lingkungan. Yang dibutuhkan hanya pengorbanan dan aksi mewujudkan cita-cita kaum penganjur kelestarian dan kesintasan bumi.

Anda bisa memulai gaya hidup ranah lingkungan dari meja makan. Ketika anda memilih tidak menggunakan tisu, yang memerlukan pohon untuk ditebang dalam memproduksinya, dan menggantinya dengan serbet kain,maka anda sudah andil dalam pola hidup prolingkungan.

Tentu masalahnya tak berhenti di sana. Ketika serbet yang anda pakai harus dicuci, anda perlu memperhitungkan apakah penggunaan deterjen itu tak merusak atau sedikitnya mencemari air tanah. Di masa lalu, ketika buah klerak masih biasa digunakan orang untuk membersihkan noda dan aroma tak sedap, penggunaan serbet kain yang mesti dicuci pastilah bersahabat bagi lingkungan.

Tampaknya, kebergantungan pada deterjen dalam membersihkan perangkat makan, sandang dan perkakas rumah belum tergantikan dengan bahan yang tak mengandung zat kimia. Jika demikian persoalannya, pilihannya adalah menggunakan seminimal mungkin zat pembersih berbahan kimia itu.

Pengorbanan penting lain, bahkan mungkin yang terpenting karena nilai ekonomisnya, dalam melestarikan lingkungan adalah menyisakan sekian persen lahan tempat tinggal untuk ditanami pepohonan dan untuk resapan air hujan.

Sutrisno Sutanto, pegiat dialog lintas iman, memberikan teladan yang pantas diacungi jempol dalam pengorbanan demi kelestarian bumi. Dia menyisakan sekitar 20 persen lahan tempat tinggalnya untuk dijadikan taman tempat pohon berbagai jenis tumbuh bebas di halaman depan rumahnya, di kompleks yang nilai ekonomisnya melangit.

Di kompleks itu, hampir semua tetangganya menghabiskan lahan rumah mereka untuk kamar dan garasi mobil. Nah di sinilah, manusia istimewa memperlihatkan jati dirinya. Sang pegiat yang juga jurnalis itu, yang membangun keluarga dengan seorang dosen di Universitas Indonesia, memilih, sekali lagi memilih tidak membangun garasi.

Tak seperti kebanyakan orang yang berkoar-koar tentang pentingnya gaya hidup ramah lingkungan tapi mengonsumsi bahan bakar untuk mobil pribadi, Trisno memilih tidak bermobil pribadi, bahkan tidak bermotor. Sesekali dia bersepeda ontel untuk melatih ketangguhan jasmaninya.

Bersahabat dengan lingkungan
Tampaknya, gaya hidup yang bersahabat dengan lingkungan, yang mau tak mau membutuhkan pengorbanan, seperti yang ditempuh dengan cara memilih tidak bermobil pribadi, perlu direspons oleh kebijakan negara di bidang transportasi.

Kini pembangunan transportasi umum massal yang sedang digalakkan pemerintah kiranya akan melahirkan banyak orang mengikuti gaya hidup ramah lingkungan. Menggunakan sarana transportasi umum merupakan pengorbanan, karena orang rela tidak memanjakan egonya mereguk kenyamanan dengan mengonsumsi bahan bakar fosil untuk mobil pribadinya.

Gaya hidup penuh pengorbanan yang bersahabat dengan lingkungan juga bisa ditempuh dengan memilih sandang yang tak memerlukan banyak air dan deterjen dalam membersihkan kotoran.

Saat ini, ada banyak jenis busana yang terbuat dari bahan katun yang tipis, ringan dan mudah dibersihkan dari kotoran atau noda yang menempel. Jenis linen tertentu juga tak memerlukan banyak energi listrik karena tanpa diseterika pun tidak terlihat lecek atau kumal.

Busana berat dan tebal seperti celana jins jelas memerlukan banyak deterjen dan air untuk membersihkannya dari kotoran. Namun kini sudah banyak jenis jins ringan yang mudah dalam membersihkannya dari noda dan kotoran.

Anak-anak perlu dididik sejak dini untuk bergaya hidup ramah lingkungan. Caranya bukan dengan wejangan tapi teladan orang tua. Anak-anak harus melihat perilaku orang tua dalam menunjang kelestarian alam.

Tampaknya memilih hidup tidak bermobil pribadi punya rangkaian dampak positif yang panjang. Dengan memilih tidak membangun garasi tapi membangun taman dengan banyak tanaman, sebuah keluarga dapat memanfaatkan sampah organik sehari-hari, seperti kulit buah dan sayur untuk pupuk bagi tanaman. Tentu, mereka yang punya garasi juga bisa memanfaatkan sampah organik untuk tanaman pot.

Namun, faktanya, jumlah sampah organik setiap hari yang menumpuk hanya bisa ditampung kalau ada lahan bagi tanaman yang cukup banyak dan bukan tanaman di dalam pot. Jadi tetap saja bahwa dampak positif mempunyai taman di halaman rumah tak bisa disaingi oleh tanaman dalam pot.

Kondisi kemacetan jalan raya dan jalan tol yang makin parah, yang merupakan hasil kemajuan teknologi yang justru berpotensi memusnahkan peradaban kota modern, juga mendorong orang-orang tercerahkan untuk tidak bermobil pribadi.

Sayangnya, gempuran iklan produsen mobil yang semakin menggiurkan konsumen bukannya menyurutkan orang-orang berpaling dari mobil pribadi tapi malah menambah jumlah koleksi mobil pribadi terbaru.

Semakin mudahnya akses untuk mendapat kredit kemilikan mobil pribadi membuka peluang semakin banyak orang memilih bermobil pribadi dan semua ini akan menjadikan jalan-jalan raya dan jalan tol kian sesak sumpek dan menjengkelkan. Udara kota-kota pun semakin tercemar.

Hanya pengorbanan mereka yang memilih gaya hidup bersahabat dengan lingkungan yang bisa mendukung kesintasan bumi. 

Pewarta: M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017